Jakarta macet itu bukan urusan presiden, tapi urusan gubernur. “Jangan tanya saya, gubernur yang semestinya menjelaskan, kenapa kemacetan di Jakarta sedemikian parahnya, sehingga jarak tempuh dari Bandara Soekarno – Hatta tidak bisa terukur waktunya,” begitulah kira-kira ungkapan Sby menanggapi soal kemacetan yang dikeluhkan oleh beberapa tamu negara.
Bak gayung bersambut, ucapan Sby itu ditimpali oleh Mulyadi kader PD di DPR, “Tugas Gubernur DKI Jakarta untuk memikirkannya jalan keluarnya,” ujar ketua komisi Perhubungan DPR itu. Seakan tak mau ketinggalan , Soetan Bathugana juga ikut menjelaskan bahwa tiap-tiap kepala daerah bertanggung jawab atas wilayahnya masing-masing.
Menyaksikan perang urat saraf antara pejabat negara ini membuat rakyat semakin bingung, masing-masing elite sibuk mencari pembenaran diri sendiri dan melempar persoalan kepada yang lain. Jokowi yang dikenal kalm itupun tak tinggal diam, dengan gayanya yang khas dia menjawab, bahwa pemerintah pusat tidak mendukung upayanya mengatasi kemacetan di Jakarta, seharusnya transportasi umum yang murah meriah yang harus dipikirkan, bukan membuat program mobil murah.
Jika jalanan di Jakarta MACET memang tidak pada tempatnya jika ditanyakan kepada presiden, ada gubernur yang harus menjelaskannya. Namun karena pertanyaan datangnya dari tamu negara, tentulah telinga presiden yang menjadi sasarannya.
Kemacetan yang terjadi di kota Jakarta ini bukan hal baru, tapi sudah sejak lama. Ada dua Penyakit akut kota Jakarta yakni macet dan banjir, keduanya merupakan warisan masalah yang diterima oleh Gubernur DKI dari masa kemasa hingga sampailah saat Jokowi menjabat. Jadi sungguh tidak adil jika urusan macet ini ditimpakan sepenuhnya kepada Jokowi.
Apa yang disampaikan oleh Presiden, Mulyadi dan Soetan adalah sesuatu yang normatif, tapi sebuah masalah tidak akan pernah terselesaikan jika hanya bergantung pada sesuatu yang bersifat legal formal saja. Apalagi masalahnya sudah sedemikian berat dan menahun, seperti masalah macet di Jakarta.
Jika jalan pikiran Soetan itu diteruskan oleh Jokowi dan para Gubernur yang ada ditanah air ini, maka persoalan bangsa ini pasti menjadi runyam. Bayangkan saja jika kemudian para Gubernur mengambil sikap yang sama dengan presiden, melemparkan persoalannya kepada Walikota, selanjutnya Walikota melemparkannya kepada Camat, karena Camat tak mau dipersalahkan dia lempar ke Lurah, Pak Lurah melemparkannya ke RW, kemudian pak RW melemparkannya ke RT, lalu dengan entengnya pak RT menjawab “emangnya gue pikirin.”
Alangkah bijaknya jika presiden secara langsung menegur Gubernur DKI, mengapa masalah macet belum bisa terselesaikan. Tapi seperti “pukul anak – sindir menantu” , presiden menumpahkan kekesalannya dihadapan pengurus Kadin, kemudian ditimpali pula oleh kader partai Demokrat yang lain maka timbul kesan bahwa Jokowi sedang dikeroyok ramai-ramai oleh Partai Demokrat.
Jika soal macet ini ingin dijadikan amunisi untuk menghadang laju orbit elektabiltas Jokowi, maka tentu akan sia-sia. Simpati rakyat terhadap Jokowi saat ini benar-benar tumbuh diluar dugaan, membukit bak unggun timbun pasir yang ditiup angin. Hampir tiap hari media menyajikan berita yang melambungkan nama Jokowi. Citranya sebagai seorang pejabat tidak tumbuh karena sebuah pencitraan, melainkan oleh sikap dan prilakunya yang merakyat, penampilannya yang sederhana dan penuh kebersahajaan.
Meskipun terkadang dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Gubernur masih ada kendala dan hambatan, tetapi citranya sudah terlanjur tumbuh dan membesar. Citra positifnya jauh melebihi siapapun di negeri ini, termasuk jika dibandingkan dengan Sby sang ketua umum Partai Demokrat. Justeru itulah setiap pihak yang coba-coba berseteru dengan orang yang bahasa tubuhnya mirip Tukul Arwana ini akan dibuli oleh khalayak ramai. Siapa yang mengganggu Jokowi akan diganggu oleh publik, karena dianggap memusuhi seorang pejabat pujaan hati masyarakat.
0 comments:
Post a Comment