Lung Bisar menatap jauh kedepan,
memandang kaki langit yang kemerah – merahan diufuk Barat, haripun dah senja,
burung-burung sudah kembali kesarangnya, sementara dia masih saja duduk berdiam
diri diujung dermaga, memikirkan utangnya yang tiba-tiba menjadi bengkak akibat
keputusan pemerintah yang menaikkan harga BBBM.
Sebagaimana biasanya, setiap akan turun
kelaut dia selalu mengambil Solar
ditempat Kucai dengan cara utang dan dibayar semingu kemudian, setelah perhitungan
jual beli ikan selesai ditempat pelelangan. Kebiasaan itu sudah berlanjut sejak
dulu, dan dia merasa terbantu oleh kebaikan hati Kucai yang memberi fasilitas
bon Solar terlebih dahulu.
Urusan utang solar inilah yang membuat
Lung Bisar jadi termenung panjang, berpikir bagaimana mungkin antara dirinya
dan Kucai berbeda cara menghitungnya, sehingga utang solarnya jadi membengkak,
nilainya jauh diatas catatan yang ada pada dirinya.
“Lu punya utangkan 200 liter solar,”
kata Kucai menjelaskan perhitungannya kepada Lung Bisar.
“Ya,”
jawab Lung Bisar singkat.
“Nah, 200 liter kali harga sekarangkan
jadi sejuta tiga ratus ribu rupiah,” jelas Kucai sambil menunjukan sempoanya.
“Iya, tapi kan wa ambil Solar waktu
harganya masih empat ribu lima ratus,”
jawab Lung Bisar.
“Betul, tapi kan lu mau bayar sekarang,
ya ikut harga sekaranglah,” jawab Kucai dengan suara agak meninggi.
“Mana bisa begitu.”
“Kenapa tidak,” timpal Kucai pula.
“Wah, lu udah curang Cai.”
“Apanya yang curang, dagangkan mesti
seperti itu.” Jawab Kucai dengan suara lantang. Lung Bisar terdiam, dia tak
habis pikir melihat sikap Kucai yang
makin licik itu. Hening sejenak, keduanya seperti mengumpulkan tenaga untuk
memuntahkan dalil pembenaran.
“Sekarang begini sajalah,” terdengar
suara Kucai kembali memulai pembicaraan. “Lu
utang Solar sama gua, sekarang lu kembalikan lagi solar gua itu.” Kata
Kucai dengan nada serius.
Akhirnya terjadilah debat panjang antara
dirinya dengan Kucai, keduanya berkutat dengan dalil masing-masing. Lung Bisar
tak menerima kalau dia harus membayar utang lama dengan harga solar yang baru
ditetapkan pemerintah. Tapi, ketika dia bersikeras untuk membayarnya dengan
harga yang lama, Kucai memintanya untuk melunasi utangnya dengan cara mengembalikan
sejumlah Solar yang sudah diambilnya.
Pusing Lung Bisar memikirkannya, tak tau
dalil apa lagi yang harus dikeluarkanna, akhirnya diapun menyerah pada keadaan,
karena terlalu jauh melawan Kucai berdebat bisa berakibat merugikan dirinya
sendiri, Kucai bisa saja tidak mau memberikan bon minyak kepadanya lagi.
“Terserah kau lah Cai,” desis Lung Bisar
dalam hatinya sambil berjalan menuju dermaga, matanya menatap lurus kedepan
memandang laut yang memantulkan sinar mentari senja. Hembusan angin yang bertiup
perlahan ditambah dengan kicau burung yang bersahut-sahutan diranting pepohonan
seakan membuai Lung Bisar dalam lamunan utang BBM yang kian membengkak.
0 comments:
Post a Comment