“Berkokok Ayam, berkicau Murai, bengkok penganyam salah diawal mulai.”
Ruhut bagaikan perahu yang terombang ambing ditengah samudera, layarnya terkembang tapi angin sakal berhembus dari haluan, cuaca juga tak berpihak padanya, sehingga jalannya menuju kursi ketua komisi III jadi tersendat-sendat.
Gelombang penolakan dirinya tidak hanya datang dari anggota komisi III yang bakal dipimpinnya, tapi juga sudah melebar keluar melibatkan isteri dan anak yang sudah dia tinggalkan.
Mengapa Ruhut ditolak oleh koleganya di DPR, apa sih kurangnya seorang Ruhut, dia seorang sarjana hukum, Pengacara, artis sinetron, tidak cacat hukum, dan menurutnya dia juga tidak cacat moral.
Itulah bedanya Ruhut dengan anggota DPR yang lain, penolakan seperti itu sebelumnya tidak pernah ada. Semua nama yang diajukan oleh Fraksi untuk diangkat menjadi komisi tidak pernah menimbulkan persoalan serupa. Tetapi ketika Ruhut ditunjuk oleh Fraksi Demokrat menggantikan rekan separtainya sebagai ketua Komisi III, penolakan itu muncul dan tidak terbendung lagi, akibatnya pelantikan Ruhut sebagai ketua Komisi III jadi tertunda.
Meski ditolak oleh anggota komisi III Ruhut tetap bersikukuh untuk melanjutkan langkahnya, bukan Ruhut namanya kalau tidak melawan. Partai Demokratpun tak mau mengalah, penolakan terhadap Ruhut dianggapnya suatu kekeliruan dan inkonstitusional. Keputusan memilih Ruhut adalah sebuah kebijakan yang sudah dipikirkan secara matang. Demokrat berpegang pada konvensi tahun 2009, sebuah kesepakatan yang dibuat oleh DPR tentang pembagian jatah pimpinan di DPR bagi tiap-tiap partai.
Konvensi inilah yang menjadi pangkal balanya, DPR membuat kesepakatan tentang pembagian kursi pimpinan yang ada di DPR, masing-masing partai mendapat jatah kursi pimpinan sesuai dengan hasil perolehan suara dalam pemilu. Pembagian kursi pimpinan ini tidak hanya pada tingkat komisi, tapi sampai pada pucuk pimpinan DPR, justeru itulah untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa ini Ketua DPR dan wakil-wakilnya tidak dipilih oleh anggota DPR tetapi ditunjuk oleh partai sesuai dengan jatahnya masing-masing.
Seyogyanya, sebagai sebuah lembaga yang menjunjung tinggi sistem Demokrasi seharusnya DPR memutuskan bahwa semua pimpinan (kecuali pimpinan Fraksi) ditetapkan dengan mekanisme pemilihan oleh anggota DPR itu sendiri, bukan dijatah-jatah seperti yang berlaku sekarang ini.
Pimpinan Fraksi dikecualikan dari pemilihan, karena dia bukan merupakan alat kelengkapan DPR, tetapi merupakan perpanjangan tangan dari sebuah partai, maka kewenangan menunjuk ketua Fraksi itu berada pada partai yang bersangkutan.
Buah dari konvensi yang mereka buat diawal tahun 2009 itu sekarang mereka hadapi sebagai sebuah kenyataan pahit, terutama bagi yang berada dalam komisi III. Sesuai dengan hasil kesepakatan itu Partai Demokrat menyodorkan nama Ruhut sebagai ketua Komisi III. Apapun alasanya semua anggota komisi III dan anggota DPR yang lain harus menerimanya dengan lapang dada. Kalaupun ada penolakan terhadap Ruhut barangkali itu hanyalah sebuah riak kecil yang tidak berarti, tidak ada ruang untuk protes dan tidak ada kesempatan untuk menolak, aturan mainnya sejak awal sudah ditetapkan sedemikan rupa, yakni berbagi-bagi jatah diantara sesama partai.
Jadi, kemelut atas penunjukan Ruhut itu adalah akibat dari kesalahan dalam membuat kesepakatan awal yang disebut dengan istilah konvensi, bak kata orang tua dahulu “Berkokok Ayam, berkicau Murai, bengkok penganyam salah diawal mulai.”
0 comments:
Post a Comment