Politik Dinasti dan Dinasti Politik sesungguhnya sudah harus terkubur bersamaan dengan diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 agustus 1945, atau lebih kurang 68 tahun yang lalu. Kekuasaan negara tidak lagi dibagi-bagikan kepada kerabat / keluarga dekat, dan tidak pula untuk diwariskan kepada anak cucu, tetapi dipilih menurut kehendak rakyat.
Tapi yang namanya politik dinegeri ini segala sesuatunya bisa dipoles sedemikian rupa, lalu dengan berdalih ingin menghargai hak-hak politik tiap-tiap warga negara, maka jadilah dinasty politik itu menjadi sesuatu yang kabur.
Dengan berlindung dibawah ketiak Demokrasi, dimana hak seorang warga negara tidak bisa dibatasi oleh siapapun, maka politik Dinasti menjadi bebas bergerak dan muncul dimana-mana. Ada Partai politik yang dipimpin oleh sebuah keluarga, lalu kebijakan partai dan keputusan-keputusan penting tidak lagi lahir dari Sekretariat Partai tetapi diumumkan dari rumah kediaman ketua Partai.
Isteri ketua Partai, meskipun tidak masuk dalam struktur kepengurusan Partai, tetap memiliki peran penting dalam menentukan arah kebijakan partai. Kader Partai pun seakan akur dengan dinasty politik sehingga suaranya seirama dengan kehendak elite partai, maka Dinasty politik itupun lahir dengan sempurna, dimana bapaknya memegang teraju partai (Ketua), anaknya menjabat Sekjen dan kelak kemudian hari pakleknya menjadi calon presiden.
Selanjutnya ada pula partai politik yang dipimpin oleh seorang ibu, lalu adiknya, anak dan keponakannya menduduki jabatan strategis didalam partai tersebut.
Salahkah praktik Politik dinasti yang sedemikian rupa itu, jawabnya tentu saja tidak, karena Demokrasi memang memberi ruang untuk itu, dan dalil yang paling JITU bagi mereka adalah suara kader yang menentukan dalam pemilihan, terlepas dari proses apakah pemilihan itu dilakukan by design atau bukan.
Poitik Dinasti ini semakin marak dan tumbuh kembang diberbagai daerah, ada nama Widya Kandi Susanti yang menjabat Bupati Kendal, Jawa Tengah perempuan ini naik panggung kekuasaan menggantikan suaminya Hendy Boedoro, yang terjerat kasus penyelewengan dana APBD Kendal. Lalu di Kabupaten Bantul , Sri Suryawidati bertengger dikursi Bupati yang ditinggalkan suaminya Idham Samawi.
Yang paling sempurna terjadi di Banten, Ratu Atut Choisyah, Orang nomor satu diprovinsi itu memiliki kerabat dekat dilingkungan kekuasaannya. Kakak kandungnya Ratu Tatu Chasanah menjabat sebagai wakil Bupati Serang, Kakak tirinya Tb Chaerul Jaman menjabat sebagai Walikota Serang. Kemudian ada pula nama Airin Rachmi Diany, kakak Ipar Gubernur ini menjabat sebagai Walikota Tangsel, dan masih ada lagi anak dan suaminya yang konon saat ini terdaftar dalam DCS sebagai wakil rakyat.
Meskipun demikian Sang Gubernur pasti tidak mau disebut sebagai orang yang menciptakan Dinasti poitik, semuanya berlangsung secara demokratis, dipilih oleh rakyat lewat pemilu, dan pemilihan itu selalu diklaim berlangsung secara demokrasi.
Karena berpegang pada legalitas formal pemilihan yang berlangsung secara demokratis inilah praktik Dinasti politik itu tidak bisa dibendung, faham Demokrasi tidak bisa membatasi hak seseorang untuk ambil bagian dalam kekuasaan, meskipun dilingkaran kekuasaan itu sendiri ada keluarga dekatnya.
Politik Dinasti bukanlah barang haram dalam sistem Demokrasi Indonesia, keberadaannya syah dimata hukum. Tapi bila dibiarkan berkelanjutan bukan tidak mungkin akan menjurus kearah politik melanggengkan kekuasaan dan mengabaikan sistem pengkaderan yang baik. Dan kesemuanya itu hanya bisa diatasi jika para politisi dan partai politik mampu menumbuhkan budaya malu serta menjunjung tinggi etika dan moral dalam berpolitik.
0 comments:
Post a Comment