Bermula dari tindakan keduanya dalam melakukan cekal terhadap Yusril, ternyata keputusan cekal itu menggunakan Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang sudah dicabut dan telah diganti dengan UU No 6 Tahun 20ll tentang Keimigrasian.
Kesalahan tersebut bukan hanya sebatas kesalahan dalam hal menggunakan aturan yang sudah dicabut, tapi berakibat pula pada masa cekalnya dimana dalam UU No 9/1992, masa cekal adalah setahun sementara undang-undang yang baru hanya memberi kewenangan kepada Jaksa Agung melakukan cekal maksimum 6 bulan saja.
Terlepas dari soal bersalah atau tidaknya seorang Yusril, maka tindakan kedua petinggi hukum kita itu patut direnungkan. Apakah sedemikian kelirunya negeri ini, memiliki penegak hukum yang tidak cermat dalam membuat keputusan hukum.
Nasib baik kekeliruan itu terjadi pada seorang Yusril yang notabenenya adalah seorang ahli hukum, dan sungguh tak terbayangkan oleh kita jika hal yang sama pada awam tentu tidak akan pernah ada bantahan, dan hukum yang ditegakan secara keliru itu akan dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Apakah ini sebuah kekeliruan atau kesengajaan, pertanyaan ini membuat kening kita jadi berkerut, sungguh tak terbayangkan betapa carut marutnya penegakan hukum dinegeri ini, pucuk pimpinan dua lembaga penegak hukum secara bersama-sama melakukan kesalahan dalam menggunakan dasar hukum saat menetapkan sebuah keputusan hukum. Petingginya saja seperti itu, apalagi jajaran penegak hukum dibawahnya ?
0 comments:
Post a Comment