Entah apa pasalnya,
tengah malam begini Ujang Lumik mengetuk pintu rumah saya, dan ketika pintu
dibuka tanpa mengucapkan salam dia langsung masuk sekaligus minta dibuatkan
secangkir kopi. “Alah mak , kenaklah aku
malam ni,” desis ku dalam hati.
“Aku baru saja pulang
dari rumah KH. Bachtiar Ahmad,” katanya
memulai pembicaraan, begitu dia menyebut nama Bachtiar Ahmad, akupun
mendengarnya dengan antusias, menanti kata-kata berikutnya keluar dari mulut
Ujang, siapa tau ada kabar baik dari sang senior.
“Kami tadi ngumpul
dirumah beliau, bercerita panjang lebar tentang berbagai hal, termasuklah soal
seorang pemimpin yang baru dilantik itu ,” katanya sambil menyelipkan sebatang
rokok dibibirnya. Aku mendengarkannya dengan seksama dan berharap dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya Ujang bisa meneruskan ceritanya.
“Tapi,”
“Tapi apa ?” potong ku
dengan tak sabar.
“Panjang lebar Tuan KH.
Bachtiar bercerita, membuat aku menjadi bingung, tak mengerti apa makna
ceritanya itu, justeru itulah aku mampir kesini, siapa tau aku bisa mendapat
penjelasan.” Ujarnya dengan mimik yang serius.
“Ceritanya tentang apa
?”
“Tentang Semut, Keledai
dan Biawak,” jawabnya singkat sambil menyedot asap rokoknya dalam-dalam,
setelah itu Ujang Lumikpun menguraikan cerita yang didengarnya dari KH.
Bachtiar.
Sekor Semut jika bertemu
dengan sesama semut lainnya dia akan berhenti dan bersalaman, begitulah baik
budi bahasanya, tetapi Semut bisa bersebunuhan dengan sesama Semut saat berebut
makanan itulah yang dituangkan orang dahulu dalam pribahasa “Mati Semut karena
sebiji nasi.”
Keledai, hewan ini
amatlah dungunya, setinggi apapun sekolahnya dia tidak akan pernah pintar, yang
namanya Keledai tetap saja dungu, dungu sedungu-dungunya, sehingga ada orang
mengatakan bahwa kaki Keledai akan terantuk berulang kali pada batu yang sama,
artinya dia tidak pernah belajar dari kesalahan terdahulu.
Biawak, hewan ini tidak
ingin hanyut apa lagi mengikut arus, bila ingin menyeberangi sungai kepalanya tetap tegak menantang arus, meskipun
sering terlambat sampai keseberang namun dia tetap bersikukuh untuk tidak
mengikut arus. Itulah Biawak, wajah dan postur tubuhnya mirip dengan buaya,
tetapi tidak pernah terdengar kabar memangsa manusia, dia hidup tegar dan tidak
ingin membawa dirinya mengikut arus, apatahlagi sampai hanyut.
“Kalau begitu apanya
yang kurang jelas ?” Tanyaku.
“Kira-kira, pemimpin
kita yang baru dilantik itu seperti apa ya ?” Tanyanya dengan mimik serius.
Pertanyaan Ujang Lumik
itu membuat aku terhenyak, aku tak bisa memberikan jawaban. Aku tak mengenal
beliau dan tempat kamipun berjauhan, dia berkantor dijantung kota sementara aku
disudut dusun tua beternak Ayam. Kami tak pernah bertemu dan kami tak pernah
bersinggungan.
Kebingungan Ujang Lumik
menular kepadaku, kamipun terlibat diskusi panjang dimalam buta itu, dan
diskusi dallam kebingungan itu sampai ada sebuah kesimpulan bahwa Pemimpin yang
baru saja dilantik itu akan mengalami nasib yang sama dengan Semut dan Keledai,
tetapi tidak akan pernah berani mengangkat kepalanya seperti seekor Biawak.
Diskusipun tamat,
disaat fajar subuh membentang diufuk Timur.
0 comments:
Post a Comment