Dizaman Orde Lama, ada
istilan “Poros Jakarta – Peking” dan “Poros Jakarta – Moskow “ , slogan ini sering didengung-dengungkan oleh
penguasa waktu itu, tapi tak berkorelasi langsung dengan kesejahteraan rakyat
yang waktu itu masih tertatih-tatih menggapai makna Merdeka dalam kehidupan.
Politik poros-porosan ini hanya mengumbar mimpi tentang kekuatan Indonesia dalam
menghadapi Amerika dan sekutunya di Barat.
Orde Baru lahir tanpa
Poros-porosan, masuk dalam kelompok negara non block, dan menganut politik luar
negeri bebas dan aktif. Kemudian lahir zaman reformasi yang katanya merupakan
koreksi total terhadap pemerintahan Orba yang dikenal otoriter.
Reformasi politik yang
diharapkan menjadi sesuatu lebih baik dari masa Orde Baru, terutama dalam hal
peningkatan kesejahteraan rakyat dan penegakan hukum, ternyata kembali
melahirkan Politik Poros, tujuannya bukan untuk menghadapi kekuatan luar,
melainkan membangun kekuatan guna merebut kursi RI 1.
Orang yang paling getol
melahirkan “POROS” ini adalah Amin Rais, Tokoh yang terlibat langsung
melahirkan Reformasi yang juga dedengkot Partai Amanat Nasional ini sudah
berulang kali membentuk poros, mulai dengan istilah poros tengah, hingga sampai
kepada Poros Indonesia Raya.
Wacana pembentukan
poros ini mulai mengemuka setelah hitungan cepat hasil pemilu dipublikasikan
oleh berbagai lembaga Survey yang isinya menunjukkan kegagalan partai politik
meraih suara mayoritas.
Sama halnya dengan
politik “Poros Jakarta Peking” ,
pembentukan poros tengah ini juga tidak ada korelasinya secara langsung
dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pembentukan Poros yang dimaksud Amin
Rais itu tak lain hanya sebatas menggabungkan beberapa partai agar memenuhi syarat untuk mencalonkan presiden.
Apa yang terjadi setelah itu nantinya menjadi urusan belakangan.
Kalaupun ada
pembicaraan tentang syarat capres dari poros Indonesia Raya ini harus begitu
begini dan seterusnya – seterusnya, maka itu tak lebih hanya sebatas kata manis
penghias bibir, yang penting manfaatkan dulu kesempatan membangun kekuatan
untuk merebut kekuasaan, setelah berkuasa Poros tinggal dipersimpangan dan para
pemimpinnya jalan sendiri dengan kekuasaan yang telah digenggamnya.
Pembentukan Poros
seperti ini hampir terjadi setiap selesai pemilu, sehingga timbul kesan bahwa Pemilu
di Indonesia tidak dimaksudkan untuk melahirkan wakil rakyat yang berkwalitas
dan pemimpin yang baik untuk rakyat tetapi melahirkan poros yang memutar nasib
rakyat.
Selayaknya selesai
Pemilu, para tokoh Partai Politik balik kekandangnya masing-masing, menghitung
suara yang diperoleh dan memanfaatkannya untuk kepentingan rakyat sebagaimana
yang sudah diamanatkan oleh konstitusi. Bukan berkoar-koar sambil
melambai-lambai orang lain mengajak bergabung.
Akan halnya tidak ada
Partai yang mampu jalan sendiri untuk mengajukan capres, bisa mengajak partai
lain untuk bergabung (Koalisi) dengan syarat dan ketentuan harus merujuk pada
konstitusi negara. Koalisi yang dibangun harus mencerminkan kehendak dan
iktikad baik dalam mengajak kelompok lain secara bersama membangun negara, membuka
ruang dan memberikan kesempatan untuk berpartisipasi, bukan berkongsi secara
politik untuk merebut kekuasaan, apalagi jika dilandasi niat untuk menghadang
kekuatan lain.
Jalan arah kekampung
halaman saya ada namanya “Simpang Poros”
tiba disimpang itu kita akan kebingungan, karena disitu tidak ada papan
penunjuk arah, yang ada hanyalah tugu lambang kemakmuran hidup keluarga petani,
padahal kehidupan petani disekitar simpang itu tidaklah semakmur yang
dilambangkan oleh tugu itu tadi.
Saya khawatir, bahkan
teramat sangat khawatir, Poros Indonesia Raya yang dicanangkan oleh Amin Rais
ini sama sebangun dengan TUGU yang ada di SIMPANG POROS, kehadirannya membuat
rakyat menjadi bingung, tidak memberi
arti apa-apa kecuali hanya sekedar menjadi lambang.
0 comments:
Post a Comment