Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Indonesia disimpang Poros

Written By lungbisar.blogspot.com on Sunday, June 22, 2014 | 1:37 AM

Dizaman Orde Lama, ada istilan “Poros Jakarta – Peking” dan “Poros Jakarta – Moskow “ ,  slogan ini sering didengung-dengungkan oleh penguasa waktu itu, tapi tak berkorelasi langsung dengan kesejahteraan rakyat yang waktu itu masih tertatih-tatih menggapai makna Merdeka dalam kehidupan. Politik poros-porosan ini hanya mengumbar mimpi tentang kekuatan Indonesia dalam menghadapi Amerika dan sekutunya di Barat.

Orde Baru lahir tanpa Poros-porosan, masuk dalam kelompok negara non block, dan menganut politik luar negeri bebas dan aktif. Kemudian lahir zaman reformasi yang katanya merupakan koreksi total terhadap pemerintahan Orba yang dikenal otoriter.

Reformasi politik yang diharapkan menjadi sesuatu lebih baik dari masa Orde Baru, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan rakyat dan penegakan hukum, ternyata kembali melahirkan Politik Poros, tujuannya bukan untuk menghadapi kekuatan luar, melainkan membangun kekuatan guna merebut kursi RI 1.

Orang yang paling getol melahirkan “POROS” ini adalah Amin Rais, Tokoh yang terlibat langsung melahirkan Reformasi yang juga dedengkot Partai Amanat Nasional ini sudah berulang kali membentuk poros, mulai dengan istilah poros tengah, hingga sampai kepada Poros Indonesia Raya.

Wacana pembentukan poros ini mulai mengemuka setelah hitungan cepat hasil pemilu dipublikasikan oleh berbagai lembaga Survey yang isinya menunjukkan kegagalan partai politik meraih suara mayoritas.
Sama halnya dengan politik “Poros Jakarta Peking” ,  pembentukan poros tengah ini juga tidak ada korelasinya secara langsung dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pembentukan Poros yang dimaksud Amin Rais itu tak lain hanya sebatas menggabungkan beberapa partai agar  memenuhi syarat untuk mencalonkan presiden. Apa yang terjadi setelah itu nantinya menjadi urusan belakangan.

Kalaupun ada pembicaraan tentang syarat capres dari poros Indonesia Raya ini harus begitu begini dan seterusnya – seterusnya, maka itu tak lebih hanya sebatas kata manis penghias bibir, yang penting manfaatkan dulu kesempatan membangun kekuatan untuk merebut kekuasaan, setelah berkuasa Poros tinggal dipersimpangan dan para pemimpinnya jalan sendiri dengan kekuasaan yang telah digenggamnya.

Pembentukan Poros seperti ini hampir terjadi setiap selesai pemilu, sehingga timbul kesan bahwa Pemilu di Indonesia tidak dimaksudkan untuk melahirkan wakil rakyat yang berkwalitas dan pemimpin yang baik untuk rakyat tetapi melahirkan poros yang memutar nasib rakyat.

Selayaknya selesai Pemilu, para tokoh Partai Politik balik kekandangnya masing-masing, menghitung suara yang diperoleh dan memanfaatkannya untuk kepentingan rakyat sebagaimana yang sudah diamanatkan oleh konstitusi. Bukan berkoar-koar sambil melambai-lambai orang lain mengajak bergabung.

Akan halnya tidak ada Partai yang mampu jalan sendiri untuk mengajukan capres, bisa mengajak partai lain untuk bergabung (Koalisi) dengan syarat dan ketentuan harus merujuk pada konstitusi negara. Koalisi yang dibangun harus mencerminkan kehendak dan iktikad baik dalam mengajak kelompok lain secara bersama membangun negara, membuka ruang dan memberikan kesempatan untuk berpartisipasi, bukan berkongsi secara politik untuk merebut kekuasaan, apalagi jika dilandasi niat untuk menghadang kekuatan lain.

Jalan arah kekampung halaman saya ada namanya “Simpang Poros”  tiba disimpang itu kita akan kebingungan, karena disitu tidak ada papan penunjuk arah, yang ada hanyalah tugu lambang kemakmuran hidup keluarga petani, padahal kehidupan petani disekitar simpang itu tidaklah semakmur yang dilambangkan oleh tugu itu tadi.


Saya khawatir, bahkan teramat sangat khawatir, Poros Indonesia Raya yang dicanangkan oleh Amin Rais ini sama sebangun dengan TUGU yang ada di SIMPANG POROS, kehadirannya membuat rakyat menjadi bingung,  tidak memberi arti apa-apa kecuali hanya sekedar menjadi lambang. 

0 comments: