Sambil memutar lagu Mak
Inang Pulau Kampai, Lung Bisar memacu mobilnya menuju jantung kota, dengan kecpatan
tinggi dia melintasi jalur sibuk dan menerobos kemacetan dijalan raya. Dia
harus segera bertemu dengan seseorang untuk membicarakan bentuk sebuah POROS
yang dianggap penting. Penting untuk karirnya dan penting pula untuk bangsa dan negara ini
dalam lima tahun kedepan.
Demi kepentingan POROS yang
teramat penting itu pulalah dia bergegas meluncur, menyalip kenderaan
didepannya, menekan pedal gas sekuatnya, menginjak rem pada waktu dibutuhkan
mengendalikan stir untuk memastikan mobil melaju kearah tujuan, dan akhirnya
sampailah dia ditempat orang penting
yang sedang menunggunya.
Setelah bertemu dan berbasa-basi
sejenak tentang POROS yang dianggapnya penting itu, dia langsung balik kanan,
seketika itu juga dia memutuskan tidak penting berbicara banyak dengan orang
tersebut. Orang yang baru saja ditemuinya itu ternyata tidaklah sepenting apa
yang dia bayangkan. Dia merasa bahwa masih ada orang diporos lain yang lebih
penting untuk diajak bicara, diapun beregegas pergi dari situ.
Setibanya ditempat
kedua, Lung Bisar harus menelan rasa kecewa, sesuatu yang dianggapnya penting
untuk dibicarakan ternyata dianggap tidak penting oleh lawan bicaranya. Orang
kedua yang ditemuinya itu memandang tidak ada hal penting yang harus
dibicarakan lagi, dan kalau mau bicara harus menanggalkan segala kepentingan
yang ada. Porosnya sudah penuh, tidak butuh energi baru, kalau mau bergabung
silakan tanpa mengajukan syarat.
Pernyataan itu membuat Lung
Bisar gigit jari, berlalu meninggalkan ruangan itu dengan harapan kecewa. Dalam
perjalanan pulang dia melihat amper spido meternya mengalami gangguan, goyang
kekiri kanan tak beraturan, seperti mengikuti irama pikirannya yang sudah mulai
ragu akan keadaan sebenarnya. Indikator panas mobilnya turun naik secara
mendadak, seperti radiator kekurangan air.
Dengan segala keresahan
dia periksakan mobilnya disebuah bengkel, namun menurut keterangan montir tidak
ada masalah dengan mobilnya. Montir itu malah menyarankan kepadanya agar
menyetir mobilnya dengan hati dan pikiran yang tenang, menentukan arah dan
tujuan yang jelas, bukan dengan hati dan pikiran yang goyang dengan arah dan
tujuan yang tak pasti.
Dari bengkel dia
kendarai mobilnya dengan santai menuju arah pulang, dia tidak terburu-buru
lagi, dia merasa sudah tidak ada lagi hal penting yang harus dibicarakan, dia
sampai pada suatu kesadaran bahwa dirinya bukanlah orang penting dinegeri ini.
Dalam perjalanan pulang
amper mobilnya bergerak normal kembali, tidak goyang kekanan dan kiri, tenang
dan nayaman sekali, setenang hati dan pikirannya yang tidak lagi “memandang
dirinya sebagai orang penting untuk diajak berkoalisi”.
0 comments:
Post a Comment