Makin dekat dengan hari
pemilihan presiden makin riuh pula suara para pendukung masing-masing calon,
semakin sering para capres dan cawapres datang kedaerah semakin terkotak-kotak
pula masyarakat ditingkat bawah.
Gaduh dan
terkotak-kotak dibumbui dengan berbagai ungkapan kasar dan serang menyerang
antara kelompok pendukung capres yang satu dengan yang lainnya inilah yang
menjadi kecemasan kita. Pilpres ini seakan sudah bergeser dari pesta demokrasi
untuk melahirkan pemimpin yang mempersatukan bangsa menjadi perang yang meluluh
lantakkan sendi-sendi persaudaraan
Memang hingga hari ini
belum ada korban yang berjatuhan secara pisik, tetapi secara moral kita ditolak
mundur kezaman purba yang prilaku manusianya tak mengenal etika, mengumbar
umpatan secara berlebihan dan menganggap lawan dalam kompetisi sebagai musuh
digelanggang.
Mula-mula perang dengan
menggunakan kata dalam bait-bait puisi, yang satu menulis puisi bernada
mengejek lalu yang satunya lagi
membalasnya dengan meminjam sajak Wiji Thukul. Dilanjut dengan umpatan lewat
media cetak dan televisi, lalu diramaikan oleh masing-masing pendukung dengan
akun palsu dijejaring sosial. Sungguh memprihatinkan.
Persaiangan antar
capres seyogyanya dilakukan secara santun dan menjunjung adat ketimuran, saling
menghargai dan saling menghormati. Pemilihan
presiden ini bukanlah perang tanding antara dua pendekar dalam dunia
persilatan, dimana pendekar yang menang bisa melanjutkan hidupnya dengan damai sampai
ada penantang berikutnya sementara yang kalah terkapar lana bersimbah darah,
mati terkubur dengan dendam kesumat.
Tanpa disadari,
pemilihan presiden kali ini telah melahirkan perseteruan antar elite yang menjalar
keakar rumput, perang kata-kata antar tokoh dicontoh oleh para pendukungnya
ditingkat bawah. Inilah yang membuat kita menjadi khawatir.
Kekhawatiran itu dipicu
oleh realita yang berkembang ditengah masyarakat saat ini yang sudah mulai
terkotak-kotak, masing-masing bersitegang urat leher membela calon yang
didukungnya. Perbincangan ditempat-tempat umum hingga diwarung-warung kopi saat
ini penuh dengan perdebatan antar masing-masing pendukung kandidat presiden.
Debat antar mereka
terkadang berisi saling hujat dan membuka aib, seperti air tumpah kelantai
berserak tanpa arah, mengalir sekenanya menurut penafsiran mereka sendiri akan
ucapan elite yang diekspos oeh media.
Bagi kedua kandidat
(Jokowi dan Prabowo) semua persaingan itu akan berakhir seiring dengan
diumumkannya hasil pilpres mendatang, kalaupun diperpanjang masalahnya, paling
hanya sampai ke Mahkamah Konstitusi. Setelah itu mereka bersalaman atau duduk
bersanding secara damai, tetapi ditingkat bawah urusannya bisa runyam, sikap
permusuhan diantara kedua kelompok pendukung itu akan berlangsung lama. Usaia
Pilpres nanti, para elite pendukung capres akan saling berangkulan sambil
melirik kemungknan mendekati lawan yang menang, tetapi diakar rumput akan
seperti piring retak yang sangat susah untuk merekatkannya kembali.
Pemilihan presiden ini
bertujuan untuk memilih seorang pemimpin yang terbaik bagi negeri ini, bukan
untuk memecah belah dan mencabik-cabik rasa persaudaraan kita sesama bangsa
Indonesia. Justeru itulah para tokoh negeri ini dihimbau agar tidak
mempertontonkan sikap permusuhan dihadapan publik, karena masyarakat awam
memiliki kecenderung sikap meniru kelakuan para pemimpinnya. Pemimpin Kencing
Berdiri, Rakyat Kencing sambil Menari
0 comments:
Post a Comment