Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Nomor Piro Wani Piro

Written By lungbisar.blogspot.com on Sunday, June 22, 2014 | 1:54 AM

Kita tak mungkin kembali kesistem pemilu terdahulu yang pada praktiknya memilih wakil rakyat seperti memilih Kucing dalam karung.

Beberapa hari yang lalu Ketua MPR Sidarto Danusubroto, menuding bahwa politik uang telah menggagalkan caleg incumbent kembali ke Senayan. Sejalan dengan hal itu pada hari ini beliau melontarkan pertanyaan apakah sistem pemilu kita “Proporsional terbuka” perlu ditinjau ulang, atau dengan kata lain secara tersirat politisi gaek ini ingin kembali kesistem semula.

Keluhan tentang adanya politik uang pada pemilu kali ini memang sangat santer terdengar, dimana-mana terdengar praktik  membagi-bagikan ampelop, maupun sembako dari caleg kepada pemilih. Sehingga muncul pameo ditengah masyarakat sebuah istilah baru yang disebut “Nomor Piro Wani Piro”, plesetan dari NPWP yang sejatinya merupakan akronim dari Nomor Pokok Wajib Pajak.

Praktek bagi-bagi uang dan sembako ini terjadi  telah mencemari kemurnian nilai pemilu, yang semestinya dijunjung tinggi oleh semua pihak. Pemilih dan calon wakil rakyat yang ingin dipilih seharusnya menghindari perbuatan terkutuk ini, sehingga pemilu benar-benar bisa menghasilkan wakil rakyat yang amanah  dan berkwalitas.

Pemilu yang kotor tidak akan mampu melahirkan wakil rakyat yang bersih, caleg yang duduk dengan cara membeli suara rakyat dengan sepuluh kilo beras tentu akan mengambil satu ton beras setelah duduk nantinya, ujung-ujungnya jadilah lembaga terhormat yang bernama DPR sebagai tempat berdagang bagi caleg yang curang. Barangkali itulah sebabnya Ketua MPR mengajak kita untuk kembali memikirkan sistem Pemilu yang sekarang kita anut.

Ide dasar ketua MPR untuk menciptakan Pemilu yang bersih perlu dipertimbangkan, namun masalah politik uang yang mengotori Pemilu itu terjadi bukan karena kesalahan sistem pemilu kita, tetapi karena parpol tidak pernah mempersiapkan diri menjadi peserta pemilu yang baik.

Praktik politik uang itu terjadi dimungkinkan karena adanya pemberi dan penerima, posisi pemberi itu berada ditangan caleg dan penerima diperankan oleh rakyat pemilih. Dalam hal ini peran pemberi jauh lebih dominan dari peran seorang penerima, jika kader parpol tidak pernah memberi tentu tidak akan pernah ada sipenerima. Biar kata pemilih merengek-rengek kalau caleg tidak melayani, tentu praktik politik uang tidak akan terjadi.

Politik uang ini sudah lama menjadi isu dinegeri ini, dan itu terjadi tidak hanya saat pemilu legislatif dan pemilukada, tetapi dalam pemilihan pimpinan partai juga sering terdengar kabar tak sedap adanya politik uang, meskipun tidak semua partai melakukannya tetapi politik uang dalam tubuh partai politik itu pernah terjadi.

Politisi yang membagi-bagikan uang dan sembako untuk membeli suara rakyat itu adalah kader partai yang tidak yakin akan kemampuan dirinya. Keraguan itu muncul karena pencalonan mereka tidak melalui sebuah sistem internal partai yang baik, bahkan santer terdengar kabar caleg yang menyumbang dana besar mendapat kans yang besar pula untuk dicalonkan.

Sistem pengajuan nama caleg oleh partai bukan semata-mata karena kader tersebut memiliki tempat terhormat dihati rakyat tetapi lebih karena tebalnya kantong dan ketenaran nama sang caleg. Justeru itulah banyak artis yang menjadi politisi dadakan karena makhluk yang satu ini disamping memiliki ketenaran juga banyak uangnya. Soal mereka memahami keluhan dan kebutuhan rakyat itu urusan bekangan.

Hampir sebagian besar caleg yang dicalonkan oleh partai politik tidak pernah dikaderkan secara baik oleh partainya, sehingga jangankan untuk memotivasi dan memikat hati pemilih berdiri ditengah-tengah pemilihpun mereka terkadang merasa ciut.

Untuk mengatasi kekurangan seperti inilah ditempuh jalan pintas dengan cara memberikan uang, ide busuk politisi bloon ini ketemu dengan rakyat yang lapar dan kurang memahami makna demokrasi, maka tumbuh suburlah menjadi sebuah praktik yang disebut dengan Nomor Piro Wani Piro.

Jadi, jika Ketua MPR ingin  mengembalikan pemilu kepada makna sejatinya, maka salah satu yang harus diperbaiki adalah sistem pengajuan calon yang dilakukan oleh partai politik kita. Kader yang yang menjadi calon wakil rakyat seharusnya benar-benar orang bersih, bijak dan amanah bukan asal comot berdasarkan ketenaran nama dan ketebalan kantongnya.


Sebaik apapun sistem pemilu yang kita anut tidak akan pernah mampu meningkatkan kwalitas pemilu kita.  Sepanjang sistem rekrut kader partai ini tidak diperbaiki , selama itu pulalah kita akan gagal menjadikan pemilu sebagai pesta dmokrasi bagi rakyat. Kita tak mungkin kembali kesistem pemilu terdahulu yang pada praktiknya memilih wakil rakyat seperti memilih Kucing dalam karung. 

0 comments: