Kita
tak mungkin kembali kesistem pemilu terdahulu yang pada praktiknya memilih
wakil rakyat seperti memilih Kucing dalam karung.
Beberapa hari yang lalu
Ketua MPR Sidarto Danusubroto,
menuding bahwa politik uang telah menggagalkan caleg incumbent kembali ke
Senayan. Sejalan dengan hal itu pada hari ini beliau melontarkan pertanyaan
apakah sistem pemilu kita “Proporsional terbuka” perlu ditinjau ulang, atau
dengan kata lain secara tersirat politisi gaek ini ingin kembali kesistem semula.
Keluhan tentang adanya
politik uang pada pemilu kali ini memang sangat santer terdengar, dimana-mana
terdengar praktik membagi-bagikan
ampelop, maupun sembako dari caleg kepada pemilih. Sehingga muncul pameo
ditengah masyarakat sebuah istilah baru yang disebut “Nomor Piro Wani Piro”,
plesetan dari NPWP yang sejatinya merupakan akronim dari Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Praktek bagi-bagi uang
dan sembako ini terjadi telah mencemari
kemurnian nilai pemilu, yang semestinya dijunjung tinggi oleh semua pihak.
Pemilih dan calon wakil rakyat yang ingin dipilih seharusnya menghindari
perbuatan terkutuk ini, sehingga pemilu benar-benar bisa menghasilkan wakil
rakyat yang amanah dan berkwalitas.
Pemilu yang kotor tidak
akan mampu melahirkan wakil rakyat yang bersih, caleg yang duduk dengan cara
membeli suara rakyat dengan sepuluh kilo beras tentu akan mengambil satu ton
beras setelah duduk nantinya, ujung-ujungnya jadilah lembaga terhormat yang
bernama DPR sebagai tempat berdagang bagi caleg yang curang. Barangkali itulah
sebabnya Ketua MPR mengajak kita untuk kembali memikirkan sistem Pemilu yang
sekarang kita anut.
Ide dasar ketua MPR
untuk menciptakan Pemilu yang bersih perlu dipertimbangkan, namun masalah
politik uang yang mengotori Pemilu itu terjadi bukan karena kesalahan sistem
pemilu kita, tetapi karena parpol tidak pernah mempersiapkan diri menjadi
peserta pemilu yang baik.
Praktik politik uang
itu terjadi dimungkinkan karena adanya pemberi dan penerima, posisi pemberi itu
berada ditangan caleg dan penerima diperankan oleh rakyat pemilih. Dalam hal
ini peran pemberi jauh lebih dominan dari peran seorang penerima, jika kader
parpol tidak pernah memberi tentu tidak akan pernah ada sipenerima. Biar kata
pemilih merengek-rengek kalau caleg tidak melayani, tentu praktik politik uang
tidak akan terjadi.
Politik uang ini sudah
lama menjadi isu dinegeri ini, dan itu terjadi tidak hanya saat pemilu
legislatif dan pemilukada, tetapi dalam pemilihan pimpinan partai juga sering
terdengar kabar tak sedap adanya politik uang, meskipun tidak semua partai
melakukannya tetapi politik uang dalam tubuh partai politik itu pernah terjadi.
Politisi yang
membagi-bagikan uang dan sembako untuk membeli suara rakyat itu adalah kader
partai yang tidak yakin akan kemampuan dirinya. Keraguan itu muncul karena pencalonan
mereka tidak melalui sebuah sistem internal partai yang baik, bahkan santer
terdengar kabar caleg yang menyumbang dana besar mendapat kans yang besar pula
untuk dicalonkan.
Sistem pengajuan nama
caleg oleh partai bukan semata-mata karena kader tersebut memiliki tempat
terhormat dihati rakyat tetapi lebih karena tebalnya kantong dan ketenaran nama
sang caleg. Justeru itulah banyak artis yang menjadi politisi dadakan karena makhluk
yang satu ini disamping memiliki ketenaran juga banyak uangnya. Soal mereka
memahami keluhan dan kebutuhan rakyat itu urusan bekangan.
Hampir sebagian besar
caleg yang dicalonkan oleh partai politik tidak pernah dikaderkan secara baik
oleh partainya, sehingga jangankan untuk memotivasi dan memikat hati pemilih
berdiri ditengah-tengah pemilihpun mereka terkadang merasa ciut.
Untuk mengatasi
kekurangan seperti inilah ditempuh jalan pintas dengan cara memberikan uang,
ide busuk politisi bloon ini ketemu dengan rakyat yang lapar dan kurang
memahami makna demokrasi, maka tumbuh suburlah menjadi sebuah praktik yang
disebut dengan Nomor Piro Wani Piro.
Jadi, jika Ketua MPR ingin
mengembalikan pemilu kepada makna
sejatinya, maka salah satu yang harus diperbaiki adalah sistem pengajuan calon
yang dilakukan oleh partai politik kita. Kader yang yang menjadi calon wakil
rakyat seharusnya benar-benar orang bersih, bijak dan amanah bukan asal comot
berdasarkan ketenaran nama dan ketebalan kantongnya.
Sebaik apapun sistem
pemilu yang kita anut tidak akan pernah mampu meningkatkan kwalitas pemilu
kita. Sepanjang sistem rekrut kader
partai ini tidak diperbaiki , selama itu pulalah kita akan gagal menjadikan
pemilu sebagai pesta dmokrasi bagi rakyat. Kita tak mungkin kembali kesistem pemilu
terdahulu yang pada praktiknya memilih wakil rakyat seperti memilih Kucing
dalam karung.
0 comments:
Post a Comment