Malam itu Lung Bisar
duduk merenungkan peristiwa sedih yang dialaminya sore tadi, dia dimaki
oleh seekor burung “JALAK”, ditambah pula pada malamnya listrik mati
secara tiba-tiba, dia tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali menerima
nasib menanggung sedih dalam gelap gulita, apa mau dikata lagi, mau
protes ya proteslah sendiri disitu sementara rekening listrik tetap juga
harus dibayar tiap bulannya, tidak mau tau listrik menyala apa tidak,
jika terlambat siapkan uang tambahan sebagai dendanya.
Malam kian larut lampu belum juga nyala, sementara kenangan pahit yang baru saja terjadi masih membekas dibenaknya. Sore itu Lung Bisar mampir kepasar burung dan melihat seekor JALAK yang ditempatkan oleh penjualnya jauh dibagian belakang, Lung Bisar berusaha mendekati burung itu, tapi penjualnya melarang secara halus.
“Jangan dekati Jalak itu Lung.”
“Kenapa ?” Tanya Lung Bisar
“Burung itu milik Paduka,” kata penjual itu dengan nada yang serius sehingga membuat Lung Bisar makin penasaran, dan dengan mengendap-endap secara perlahan Lung Bisar masuk ketempat burung Jalak itu, dan tiba-tiba ………. “Pantek,” terdengar burung itu memakinya , suaranya keras sekali, membuat Lung Bisar menjadi kaget dan malu, malu sekali rasanya dimaki oleh seekor burung JALAK.
“Itulah sebabnya aku melarang Ulung masuk, kata penjual itu tadi, “burung itu tak dapat berkata lain kecuali mencarut, karena hanya kata itu pulalah yang sering dia dengar dari pemiliknya.” Jelas sipenjual burung kepada Lung Bisar.
Malam kian larut, dingin makin mencekam, Lung Bisar menutup lamunannya dengan sebuah kesimpulan bahwa itulah takdir yang harus dijalaninya, dan takdir bukanlah hukuman.
Malam kian larut lampu belum juga nyala, sementara kenangan pahit yang baru saja terjadi masih membekas dibenaknya. Sore itu Lung Bisar mampir kepasar burung dan melihat seekor JALAK yang ditempatkan oleh penjualnya jauh dibagian belakang, Lung Bisar berusaha mendekati burung itu, tapi penjualnya melarang secara halus.
“Jangan dekati Jalak itu Lung.”
“Kenapa ?” Tanya Lung Bisar
“Burung itu milik Paduka,” kata penjual itu dengan nada yang serius sehingga membuat Lung Bisar makin penasaran, dan dengan mengendap-endap secara perlahan Lung Bisar masuk ketempat burung Jalak itu, dan tiba-tiba ………. “Pantek,” terdengar burung itu memakinya , suaranya keras sekali, membuat Lung Bisar menjadi kaget dan malu, malu sekali rasanya dimaki oleh seekor burung JALAK.
“Itulah sebabnya aku melarang Ulung masuk, kata penjual itu tadi, “burung itu tak dapat berkata lain kecuali mencarut, karena hanya kata itu pulalah yang sering dia dengar dari pemiliknya.” Jelas sipenjual burung kepada Lung Bisar.
Malam kian larut, dingin makin mencekam, Lung Bisar menutup lamunannya dengan sebuah kesimpulan bahwa itulah takdir yang harus dijalaninya, dan takdir bukanlah hukuman.
0 comments:
Post a Comment