Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Nasib Pak Bual

Written By lungbisar.blogspot.com on Thursday, November 24, 2011 | 10:18 PM

Seperti biasanya, jika pulang dari luar kota Lung Bisar selalu mampir di Warung Pak Bual. Sekedar menikmati secangkir kopi hangat dan berbincang  dengan beberapa teman dekatnya yang selalu mangkal disitu.
Kali ini dia harus menelan rasa kecewa, Warung kopi Pak Bual terlihat sepi, Pak Bual sendiri terduduk disudut ruangan dengan wajah memelas dan kebingungan. Tidak ada pelanggan yang menyeruput kopi atau menyantap juadah, asap dapurnya tak mengepul lagi, singkat kata Warkop Pak Bual sudah mati angin.

"Tidak ada lagi kopi Lung," kata Pak Bual memelas. Dia seakan ingin menjelaskan kepada Lung Bisar bahwa Warungnya sudah bangkrut, tak berjualan apapun lagi dan selanjutnya dia kini menunggu nasib sambil mencari ilham gerangan apa yang akan diusahakan untuk menyambung penghidupan kedepan.
"Kenapa tutup ?" Tanya Lung Bisar.
"Panjang ceritanya Lung,"  jawab Pak Bual  sambil memperbaiki sandaran kursinya, ia lalu menghela nafas panjang seakan mengumpulkan segenap tenaganya untuk meneruskan cerita warungnya yang sudah bangkrut itu.
"Inilah buntut dari PEMILU GARANG  (Pemilihan Umum curiGA dan cuRANG) bulan Maret yang lalu,........ "
"Apa hubungannya ?" Potong Lung Bisar.
"Tidak ada," jawab Pak Bual dengan lemas, "Tapi kaski tangan paduka bisa saja menghubung-hubungkannya, sehingga aku tersangkut disitu." Sambungnya lagi dengan nada datar.
Pak Bual pantas merasa kecewa, karena setelah PEMILU GARANG berakhir dan dimenangkan oleh Paduka, maka usahanya mendadak jadi bangkrut. Seluruh kaki tangan kerajaan dibatasi agar tidak mampir di Warkop itu lagi, izin usahanya dipertanyakan. Warkop itu diduga telah menjadi  sarang musuh bagi paduka karena dulunya menjadi tempat berkumpulnya para pecandu kopi yang bersimpati dengan lawan politik paduka.
"Saya harus merubah haluan," desis Pak Bual sambil mengantarkan Lung Bisar keluar dari warungnya, Lung Bisar langsung tancap gas pulang dan setibanya dirumah dia mendapatkan wajah isterinya yang muram, karena baru saja keponakannya Anto Leman, berpamitan pindah tugas ke Rantau Kopar sementara itu Cik Siti  anak Pak Busu mengeluh kepadanya sambil menunjukan surat berhenti sebagai tenaga honorer.
Pak Bual, Anto Leman, Siti anak Pak Busu, adalah korban dari sikap salah kaprah yang memandang perbedaan sebagai ancaman, padahal berbeda pilihan itu adalah rahmat bagi orang yang mau berpikir.

0 comments: