Seperti biasanya, jika pulang dari luar kota Lung Bisar selalu mampir
di Warung Pak Bual. Sekedar menikmati secangkir kopi hangat dan
berbincang dengan beberapa teman dekatnya yang selalu mangkal disitu.
Kali ini dia harus menelan rasa kecewa, Warung kopi Pak Bual terlihat
sepi, Pak Bual sendiri terduduk disudut ruangan dengan wajah memelas
dan kebingungan. Tidak ada pelanggan yang menyeruput kopi atau menyantap
juadah, asap dapurnya tak mengepul lagi, singkat kata Warkop Pak Bual
sudah mati angin.
"Tidak ada lagi kopi Lung," kata Pak Bual memelas. Dia seakan ingin
menjelaskan kepada Lung Bisar bahwa Warungnya sudah bangkrut, tak
berjualan apapun lagi dan selanjutnya dia kini menunggu nasib sambil
mencari ilham gerangan apa yang akan diusahakan untuk menyambung
penghidupan kedepan.
"Kenapa tutup ?" Tanya Lung Bisar.
"Panjang ceritanya Lung," jawab Pak Bual sambil memperbaiki
sandaran kursinya, ia lalu menghela nafas panjang seakan mengumpulkan
segenap tenaganya untuk meneruskan cerita warungnya yang sudah bangkrut
itu.
"Inilah buntut dari PEMILU GARANG (Pemilihan Umum curiGA dan cuRANG) bulan Maret yang lalu,........ "
"Apa hubungannya ?" Potong Lung Bisar.
"Tidak ada," jawab Pak Bual dengan lemas, "Tapi kaski tangan paduka
bisa saja menghubung-hubungkannya, sehingga aku tersangkut disitu."
Sambungnya lagi dengan nada datar.
Pak Bual pantas merasa kecewa, karena setelah PEMILU GARANG berakhir
dan dimenangkan oleh Paduka, maka usahanya mendadak jadi bangkrut.
Seluruh kaki tangan kerajaan dibatasi agar tidak mampir di Warkop itu
lagi, izin usahanya dipertanyakan. Warkop itu diduga telah menjadi
sarang musuh bagi paduka karena dulunya menjadi tempat berkumpulnya
para pecandu kopi yang bersimpati dengan lawan politik paduka.
"Saya harus merubah haluan," desis Pak Bual sambil mengantarkan Lung
Bisar keluar dari warungnya, Lung Bisar langsung tancap gas pulang dan
setibanya dirumah dia mendapatkan wajah isterinya yang muram, karena
baru saja keponakannya Anto Leman, berpamitan pindah tugas ke Rantau
Kopar sementara itu Cik Siti anak Pak Busu mengeluh kepadanya sambil
menunjukan surat berhenti sebagai tenaga honorer.
Pak Bual, Anto Leman, Siti anak Pak Busu, adalah korban dari sikap
salah kaprah yang memandang perbedaan sebagai ancaman, padahal berbeda
pilihan itu adalah rahmat bagi orang yang mau berpikir.
0 comments:
Post a Comment