Pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Moratorium (Penghentian
sementara) pemberian remisi dan bebas bersyarat untuk napi korupsi dan
teroris. Kebijakan itu menjadi bahan perdebatan ditingkat elit, bahkan
banyak yang menentangnya dan menilai sebagai tindakan melawan hukum.
Belakangan pemerintah cq. Kemenkum HAM melunak dengan dalih bukan
penghentian sementara (Moratotium) tapi menyebutnya dengan kebijakan
"Pengetatan Remisi dan pembebasan bersyarat".
Publik berharap agar para Koruptor, Teroris dan juga Bandar Narkoba
dihukum dengan seberat-beratnya, dan tidak diberikan remisi atau
pembebasan bersyarat.
Kita juga sepakat dengan wamenkum Ham Denny
Indrayan bahwa perlakuan terhadap Koruptor harus dibedakan dengan maling
ayam.
Rakyat sudah lama gerah melihat para Koruptor, merampok uang rakyat
dengan seenaknya, memperkaya diri sendiri tetapi tidak mendapat hukuman
yang setimpal. Hukumannya bukan saja tergolong ringan, tetapi lebih
dari itu mereka mendapat perlakuan istimewa. Meskipun bersatuts nara
pidana mereka bisa bebas melenggang keluar, ruang tahannya dilengkapi
pendingin udara, memiliki pembantu, tersedia tempat pijat dan lain
sebagainya.
Meskipun berada dibalik terali besi mereka bebas berkomunikasi dengan
pihak luar untuk mengatur rencana bisnis dan keperluan lainnya, penjara
bukanlah tempat mereka menjalani hukuman tapi hanya sekedar tempat
istirahat sejenak waktu.
Selain itu para koruptor juga mendapat pengurangan masa tahanan
(remisi) disetiap hari besar, mereka juga memperoleh fasilitas bebas
bersyarat, keluar sebelum masa tahanannya berakhir dengan menjalankan
asimilasi. Dan bila dihitung-hitung, akhirnya mereka menjalani
hukumannya didalam bui hanya separoh dari vonis hakim.
Tapi sayangnya pemerintah mengatasinya dengan kebijakan setengah hati
berupa Moratorium Remisi dan kebijan itu sendiri ditentang oleh banyak
pihak. Kebijakan itu sendiri tidak memiliki payung hukum, dan terkesan
hanya sebagai pencitraan belaka. Bertentangan dengan UU No 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Khususnya Pasal 14 yang mengatur hak-hak
nara pidana.
Jika memang ada niat untuk memperlakukan para koruptor berbeda dengan
maling jemuran, maling ayam, atau maling sendal jepit, maka tidak ada
jalan lain kecuali dengan memperberat hukumannya, minimal 25 tahun dan
maksimal seumur hidup dipenjara, harta bendanya disita untuk negara, dan
bila perlu dijatuhi hukuman mati didepan regu tembak. Bila ini bisa
diterapkan mungkin tak diperlukan lagi kebijakan pengetatan pemberian
remisi dan lain sebagainya yang hanya terkesan sebagai upaya pencitraan
belaka.
0 comments:
Post a Comment