Secara rinci Mahfud menyebutkan "Pertama, ada tukar menukar isi pasal
antarpemain politik yang bukan didasarkan pada kepentingan rakyat, tapi
kepentingan politik. kedua, ada pemaksaan agar sebuah RUU dibuat meski
tak ada naskah akademik dan tak jelas urgensinya,dan ketiga ada lembaga
di luar yang menyediakan uang besar untuk menggolkan isi UU," ujarnya
lebih lanjut.
Pernyataan Mahfud ini diamini oleh pengacara senior Adnan Buyung
Nasution, mantan Wantimpres bidang Hukum ini menjelaskan "Itu betul.
Saya pernah dengar sendiri dari pemerintah. Bagaimana sulitnya
pemerintah waktu saya menjabat sebagai Wantimpres dulu," katanya seusai
acara dialog tentang 'Status GKI Yasmin' di YLBHI, Jalan Diponegoro,
Menteng, Jakarta, Rabu (16/11/2011).
Mahfud, bagaikan menabuh genderang, pernyataannya membuat sebagian
anggota Dewan bagaikan kebakaran jenggot, sebut saja Ganjar Pranowo,
wakil ketua Komisi II DPR ini menyeret pernyataan Mahfud ini
kepertarungan 2014, Ganjar seakan melihat Mahfud sedang bermanuver
menjelang pilpres yang akan datang. Lebih kurang sama tak encutnya
dengan Ganjar, Ruhut Sitompul juga melihatnya sedemikian rupa, sehingga
dia menyarankan agar para komisioner tetap on the track, bekerja dengan
baik untuk rakyat, ojo kesusu londo masih jauh, maksudnya tak usah
terburu nafsu mempersiapkan diri untuk maju kepilpres 2014.
Selanjutnya Marzuki Alie, sang ketua DPR juga membantah bahwa selama
beliau memimpin DPR tidak pernah terjadi jual beli pasal dalam UU.
Benarkah ?
Terlepas dari siapa yang benar, apakah Mahfud dan Buyung, atau
Ganjar,Marzuki dan Ruhut Sitompul. Para elite ini sebenarnya tak perlu
ribut sehingga suara debat kusir mereka memenuhi ruang publik, jika
memang jantan dan merasa tidak terima dengan pernyataan Mahfud tersebut,
DPR sebagai lembaga bisa menyeret Mahfud kepengadilan, dengan tuduhan
pencemaran nama baik. Disitulah diuji kebenarannya.
Jika pernyataan Mahfud itu hanya dijawab dengan pernyataan, maka yang
muncul kepermukaan adalah perang pernyataan, saling tuding dan bisa
menimbulkan fitnah, sementara kebenarannya tak pernah terungkap secara
jelas, yang ada hanyalah energi dan waktu yang terbuang dengan percuma,
bak kata pribahasa "Arang habis besi binasa," kemudian publik
menyimpan persoalan ini dalam almari "LUPA" sampai esoknya muncul debat
kusir yang baru lagi, dan begitulah seterusnya.
Terhadap debat kusir, dan saling tuding diantara pejabat negara soal
politik dagang sapi, jual beli pasal UU dan lain sebagainya ini
hanyalah memancing rasa ketidakpuasan dihati publik. Jika DPR tak mau
dituding macam-macam, maka mulailah memperbaiki diri, termasuk
diantaranya membuat keputusan secara transparan. Tidak seperti sekarang
ini masih ada rapat tertutup Di DPR dalam pembahasan RUU, "Hal ini yang
secara tidak langsung menyuburkan dan memuluskan dugaan praktik jual
beli pasal," jelas peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
Indonesia, Ronald Rofiandri sebagaimana yang dikutip oleh detikcom, Rabu
(16/11/2011).
0 comments:
Post a Comment