“Menetes air mata saya,” kata Lung Bisar memulai percakapannya. Raut wajahnya mencerminkan kelelahan yang teramat sangat, lalu menyeruput seteguk kopi yang sudah disiapkan oleh Pak Bual.
“Dari mana tadi Lung ?” Tanya ku.
“Dari
kantor Gubernur,” jawabnya singkat. Kemudian sambil menghela nafas ia
membetulkan letak peci dikepalanya iapun mulai bercerita panjang lebar
tentang apa saja yang baru dialaminya dikantor Gubernur.
“Bermula
dari undangan lisan Gubernur Riau lewat berbagai media agar rakyat
datang kekantornya pada hari Senin guna mendengarkan pidatonya, maka
setelah sholat subuh tadi saya tidak tidur lagi, bersiap-siap untuk
memenuhi undangan sang Gubernur. Saya merasa tersanjung, karena
seumur-umur saya baru kali inilah saya diundang oleh seorang gubernur
untuk datang kekantormya.”
“Oooooo
………, jadi ceritanya tadi ikut upacara dikantor Gubernur ?” Tanya ku
lagi dan dia menjawab dengan singkat “Ya, katanya sambil menyeringai.
“Apa isi pidato Gubenur itu tadi Lung ?”
“Entahlah, kurang begitu jelas bagi saya, banyak hal yang dia sampaikan cuman satu kata yang melekat diotak saya.”
“Apa itu Lung ?”
“Musibah,” jawabnya singkat.
“Oooooo ………………. , jadi karena cerita musibah itu anda menangis ?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa ?”
“Karena saat pak Gubernur pidato, sepeda ontel saya dicuri orang, saya
mau teriak tak bisa, takut dianggap mengganggu gubernur yang sedang
menyampaikan pesan pentingnya, saya terpaksa berdiam diri sambil
meneteskan air mata menyaksikan sepeda saya dilarikan orang, jadi isi
pidato Gubernur itu setali tiga uang dengan nasib saya, sama-sama
mendapat musibah.” Jawab Lung Bisar menutup ceritanya, saya merasa
terenuh mendengarnya dan tak sanggup lagi meneruskan perbincangan.
0 comments:
Post a Comment