Terbuktilah sudah bahwa
apa yang disebut-sebutkan sebagai isu kudeta itu hanyalah isapan jempol belaka,
hari ini Jakarta aman-aman saja, tak ada pasukan bersenjata yang mendatangi
istana untuk memaksa SBY turun dari kursi kekuasaannya. Tidak ada kekerasan
yang mengarah pada tindakan merampas kekuasaan, dan tidak ada pula peristiwa
tembak menembak antara tentara dengan pelaku kudeta. Alhamdulillah, hari ini
berlalu dengan damai, tanpa pertumpahan darah sebagaimana yang kita khawatirkan
dalam beberapa hari ini.
Memang ada aksi MKRI,
tapi tidaklah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, mereka hanya sebatas
berkumpul didepan kantor YLBHI, dan berteriak meminta SBY – Boediono turun. tak
satupun diantaranya yang membawa senjata dan tidak pula didukung oleh jumlah massa yang
besar.
Apakah aksi mereka ini
bisa dikategorikan sebagai tindakan coup d’etat (kudeta), tentu saja tidak, karena mereka hanya sebatas menuntut agar SBY turun dari jabatannya , tetapi tidak melakukan
tindakan apapun yang bersifat pemaksanaan.
Aksi serupa sebenarnya
sudah sering terjadi, berbagai pihak sudah sering meminta SBY turun, hal ini
dimungkinkan terjadi karena pemerintahan yang dipimpin oleh SBY dianggap gagal
menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, terutama dalam hal memberantas
kejahatan korupsi dan penyelesaian masalah hukumnya. Sebut saja kasus Mafia
Pajak, hukum hanya sampai pada seorang Gayus sementara mafianya tidak
terungkap. Bail Cntury hingga hari ini tidak jelas ujung pangkalnya, yang
terdengar malah teriakan nasabahnya yang menjerit karena uang mereka menguap.
Lebih celakanya lagi, beberapa
skandal besar seperti kasus Wisma Atelit dan Hambalang malah melibatkan elite
Partai Demokrat. Partai pemerintah yang seharusnya bersih dari skandal. Kasus
Wisma Atelit melibatkan Nazaruddin yang waktu itu menjabat sebagai Bendahara PD,
sehingga menuai tudingan miring bahwa isi kas PD bersumber dari dana yang tidak
bersih. Nazar tak mau sendiri , diapun menyebut nama Anas Urbaningrum Ketua
Umum PD, dan terakhir terselip pula nama Ibas Sekjen Partai yang tak lain
adalah Putera SBY sendiri, jadi tiga nama penting (yang dalam istilah orang
Minang disebut 3 tungku sajarang) ditubuh PD terlibat dalam pusaran kasus
besar.
Anas Urbaningrum yang
tersangkut dalam kasus Hambalang akhirnya berhenti dari jabatannya, berhentinya
Anas berbuntut pada kesibukan SBY mencari penggantinya lewat KLB dan akhirnya
publik menilai SBY lebih sibuk mengurus partai dari pada mengurus rakyat.
Tapi cukupkah alasan
diatas sebagai dasar untuk menurunkan SBY ? Tentu saja tidak, karena presiden dipilih oleh rakyat lewat
pemilihan umum yang berlangsung secara demokrasi, ada aturan main yang harus dihormati
dan ada pula prosedur baku yang sudah ditetapkan dalam undang-undang, salah
satu diantaranya adalah presiden berhenti setelah habis masa jabatannya.
Jadi, sabarlah menunggu
waktunya, karena SBY memang harus turun tahta setelah masa jabatannya yang
kedua ini berakhir.
0 comments:
Post a Comment