Dengan langkah gontai Umar dan Bakri memasuki sebuah warung kopi, kemudian dengan matanya yang berlapis kaca menyisir ruangan, mencari tempat duduk yang masih kosong. Mak Sumiati , pemilik warung menyapanya dengan nada sedikit genit.
“Mau sarapan Pak ?” “Ya,” jawab Umar dan Bakri serentak. “Kopi secangkir, buat kental-kental kopinya tapi jangan pahit,” kata Umar dengan mimik serius, kemudian disambung oleh Bakri memesan sepiring lontong, “pisahkan lontong dan sayurnya dalam piring yang berbeda,” kata Bakri pula, seakan tak mau kalah dengan Umar.
Umar dan Bakri adalah guru disebuah sekolah dasar, umur mereka sudah mendekati setengah abad, menjadi guru karena tuntutan hidup dan panggilan jiwa. Lima belas tahun yang lalu mereka pulang kampung dngan membawa ijazah sarjana, lowongan kerja yang sesuai dengan disiplin ilmunya tidak ada, sementara sekolah didusun tempat tinggalnya kekurangan guru.
Kedua sarjana yang baru menenteng Ijazah dari kampus ini bertemu dengan keadaan sekolah yang kurang guru. Kenyataan sekolah yang seperti ini membuat keduanya merasa terpanggil untuk memberikan sumbangan tenaga dan ilmunya, dan lama kelamaan mereka diikat oleh sepucuk surat keputusan pejabat setempat yang mengangkat mereka sebagai Guru Bantu.
Kopi kental dan lontong yang mereka pesan terhidang sudah, semua mata yang ada diwarung itu memandang keduanya dengan tatapan yang penuh tanda tanya. Kedua lelaki yang dihormati masyarakat sekampung itu memesan makanan dan minuman dengan cara yang aneh. “Pinjam gelas kosong,” kata Umar kepada pelayan warung, dan sejenak kemudian Bakri buka mulut menyambung ucapan Umar dengan meminjam sendok.
Ucapan keduanya memancing keinginan orang yang ada disekitar itu untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang akan mereka lakukan. Setelah gelas kosong dan sebuah sendok diantarkan oleh pelayan warung itu, mulailah Umar beraksi, membagi secangkir kopi kental tadi menjadi dua gelas, kemudian dengan tanpa menoleh kiri dan kanan keduanya langsung menambah air hangat kedalam cangkir kopi mereka masing-masing, maka secangkir kopi kental itu kini sudah menjadi dua cangkir kopi yang siap diseruput.
Dan sama seperti Kopi kental itu, Lontong yang berpisah piring dengan sayur itupun mereka olah bagi menjadi dua piring lontong. Mak Sumiati, pemilik warung itu geleng-geleng kepala melihat ulah dua guru tersebut, dan orang-orang yang berada didalam warung itupun hanya terdiam, tidak sanggup berkomentar karena bagaimanapun keadaannya, kedua orang tersebut merupakan orang yang sangat dihormati oleh masyarakat didusun itu, mereka adalah pendidik yang sudah banyak melahirkan generasi cerdas didusunnya.
Sejenak kemudian Lung Bisar masuk kedalam warung, lelaki tua yang menjadi pelanggan setia Mak Sumiati itu datang dan langsung mengambil tempat duduk semeja dengan kedua guru tersebut, lalu ketiga orang ini terlibat pembicaraan yang diiringi dengan derai tawa, susanapun mencair.
“Perut kami lapar Lung,” kata Umar disela canda dan tawanya.
“Tapi kalian tak punya cukup uang untuk memesan Kopi dan Lontong,” sambung Lung Bisar.
“Lha ........ koq tau Lung ?” “Ya, saya baru saja baca berita, gaji Guru Bantu belum dibayarkan sementara uang sertifikasi yang semestinya kalian terima hari ini dipotong habis dengan alasan tidak memenuhi standar kehadiran dalam mengajar.” Jawab Lung Bisar.
“Itulah Lung, itulah nasib kami,” Honor belum keluar, utang sudah menumpuk, uang sertifikasi terpotong pula.” Jawab Umar.
“Ini bukan nasib kalian, tapi nasib negeri ini.” Jawab Lung Bisar dengan nada serius. “Ini negeri sudah kacau balau, yang mengabdi tak dihargai, orang yang tunggang langgang berbakti untuk kepentingan bangsa gajinya selalu terlambat dibayar, sementara orang-orang yang duduk tenang dikursi empuk diberi dana milyaran rupiah.” Lanjutnya lagi.
Kemudian Lung Bisar bercerita panjang lebar, memuntahkan rasa muak dan jengkelnya terhadap penyelenggara negara yang seakan tak memikirkan nasib para pendidik. Padahal peran mereka dalam mencerdaskan anak bangsa sangat besar. Merekalah yang bersetungkus lumus membebaskan anak negeri ini dari keterbelangkan berpikir.
“Terima kasih Lung,” jawab Umar.
“Ya, terima kasih Lung,” sambung Bakri pula.
Ungkapan prihatin dan rasa keberpihakan yang barusan kami dengar itu sudah membuat kami merasa bangga dan puas dengan keadaan nasib kami Lung, kami bangga jadi pendidik, kami jadi tetap semangat menjadi guru, langkah kami digugu dan ditiru, meskipun suap kami kadang terganggu,” katanya lagi.
“Tidak ada yang perlu dirisaukan, akan kami jalani lakon hidup ini dengan penuh canda dan tawa Lung,” sambung Umar pula, lalu keduanya berdiri, beranjak dari duduknya untuk kembali kesekolah tempat mereka mengajar, sementara dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara Iwan Fals mendendangkan lagu “Oemar Bakri”.
Umar dan Bakri
Written By lungbisar.blogspot.com on Tuesday, February 16, 2016 | 4:08 PM
Labels:
Sosial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment