Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Terkecoh Oleh Si Dungu

Written By lungbisar.blogspot.com on Tuesday, February 16, 2016 | 3:28 PM

Sore, menjelang mentari tenggelam diufuk Barat, pak Erte didatangi seseorang yang melaporkan bahwa diujung kampung ada dua orang warga yang sedang ribut berparang-parangan. Pelapor tersebut meminta agar pak Erte segera turun tangan untuk melerai pertengkaran, karena dikhawatirkan akan berakibat fatal jika dibiarkan berlarut-larut.
Dengan tidak berpikir panjang lagi pak Erte bergegas bangkit dari duduknya, dan langsung bergerak menuju lokasi. “Dari pada terjadi pertumpahan darah lebih baik secepatnya dilerai,” desis pak Erte dalam hatinya. Seketika hampir sampai dilokasi, dari kejauhan dia melihat sosok dua lelaki gempal, keduanya sedang sejadi-jadinya adu mulut sambil mengacung-acungkan tangan, sesekali terlihat pula mengacungkan parang panjangnya.
Pak Erte mempercepat langkahnya dan tak berapa lama kemudian dia tiba dilokasi tersebut. Kedua lelaki yang terlihat gaduh itu adalah Karyo dan Karmin, keduanya merupakan orang upahan Lek Salekan sebagai pencari rumput makanan ternak.
“Stop, stop ....... ! terdengar lantang suara pak Erte menghentikan aksi keduanya. Dan suara pak Erte itu membuat Karyo dan Karmin terdiam sambil bertatapan.
“Ada apa ini ? Tanya pak Erte dengan degup jantung yang bergemuruh. “Ini pak, gara – gara Karyo yang lancang membabat kaki Kambing piaraan saya,” jawab Karmin dengan mimik serius.
“Patah dua Kaki Kambing saya dipukul Karyo pakai kayu,”
“Dia sendiri yang salah pak, punya Kambing dilepas berkeliaran, tidak dipelihara dengan baik,” potong Karmin pula sambil menuding Karmin dengan tangannya. “Kambingnya masuk kedalam kebun saya, tanaman saya rusak semua, pucuk dedaunan dan sayur mayur dikebun saya dimakan oleh Kambing Karmin,” sambungnya lagi.
“Salah dia sendiri pak, potong Karmin dengan nada yang lebih tinggi. “Punya kebun, tapi tak berpagar,” sambungnya lagi.
“tidak bisa pak, ..... wa...
“Sudah, ........ sudah, kalian ini bisa diam nggak?” sergah pak Erte.
“Bisa pak,” jawab Karyo dan Karmin serentak.
“Mau didamaikan nggak ? Tanya pak Erte lagi “Mau pak,” jawab keduanya dengan nada yang agak gemetar.
Karyo dan Karmin terdiam, tak sepatah katapun kata yang keluar dari mulutnya, pak Erte juga terdiam sambil memutar otaknya mencari solusi untuk mendamaikan dua warga yang rusuh itu. Sementara senja semakin larut jua, semburat mentari dengan warna kemerah-merahan kian meredup, pertanda sebentar lagi waktu maghrib akan masuk.
“Sekarang mana Kambing kamu yang patah itu Min ?” Tanya pak Erte. Karmin makin terdiam, dia nampak kebingungan mencari kata untuk menjawab pertanyaan pak Erte itu.
“Kamu juga Yo, mana kebunmu itu, berapa banyak yang dirusak Kambing Karmin ?”
Karmin dan Karyo saling berpandangan, keduanya diam dan kebingungan membuat pak Erte merasa tak sabar melihatnya, beberapa saat kemudian pertanyaan yang sama dia ulangi kembali, namun tetap tidak mendapat jawaban dari Karmin dan Karyo.
“Begini asal mulanya pak Erte, jawab Karmin memulai penjelasan. Pak Erte mendengarkannya dengan khusuk. “Tadi kami mendapatkan suatu benda berwarna Kuning, kami kira emas tapi ternyata sebungkah tanah liat yang keras,” sambungnya lagi.
“Terus ? Tanya pak Erte dengan sedikit penasaran.
“Terus saya bilang sama Karmin,” potong Karyo pula. “Kalau itu benar-benar emas mau kami jual kepasar, hasilnya bisa dijadikan modal usaha” sambungnya lagi. “Nah Karyo maunya uang itu buat beli kebun, sementara saya maunya untuk membeli kambing, dari sinilah mulainya, kami tak sepakat dalam hal menggunakan uang itu,” jawab Karmin pula.
“Akhirnya uang itu kami bagi dua,” jawab Karyo pula. Bagian saya buat beli kebun dan bagian Karmin untuk membeli Kambing,” ujarnya lagi.
“Jadi Kambing dan kebun yang ada dalam hayalan kalian itulah yang membuat kalian ribut sampai mau bunuh-bunuhan ?” tanya pak Erte dengan geram.
“Iya pak,” jawab Karyo dan Karmin serentak, “kami hanya mencoba melakoni hidup seperti pengusaha kaya,” jawab Karmin. “Tetapi entah kenapa kegaduhan itu berlanjut, menjadi sesuatu yang nampak serius, seolah-olah kami betul-betul sedang bertengkar soal Kambing dan Kebun,” jawabnya lagi.
“Jadi .............” tanya pak Erte dengan nada kesal.
“Iya pak, kami hanya berhayal.”
“Dasar kalian ini manusia dungu,” bentak pak Erte dengan nada suara yang tinggi dan dia bergegas melangkah pulang kerumah, dalam perjalanan pulang itu dia bergumam dalam hatinya, “siapa sebenarnya diantara kami yang dungu ?” Pertanyaan itu dia simpan baik-baik dikepalanya agar warga yang lain tidak tau bahwa sebagai orang yang mengaku pintar dia pernah terkecoh oleh ulah orang dungu.

0 comments: