Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Lelucon Praperadila

Written By lungbisar.blogspot.com on Friday, February 27, 2015 | 4:19 PM

Hakim Sarpin Rizaldi sudah mengetuk palu, status tersangka bagi Komjen Budi Gunawan gugur dengan sendirinya. Keputusan itu melapangkan jalan baginya untuk dilantik sebagai Kapolri, sejalan dengan harapan PDI-P dan partai yang tergabung dalam KIH yang sejak awal menginginkan agar presiden tetap melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Jauh sebelum adanya keputusan pengadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka atas diri Budi Gunawan, KIH yang dimotori oleh PDI-P berusaha keras mendorong presiden untuk melantik calon kapolri itu, bagi PDI-P status tersangka tidak mengurangi hak seseorang untuk dilantik sebagai pejabat negara.

Persoalan yang muncul kemudian bukanlah masalah jadi atau tidaknya Budi dilantik sebagai Kapolri, tetapi pada kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum itu sendiri. Proses persidangan praperadilan yang disiarkan secara terbuka telah membuat rakyat negeri ini menjadi bingung akan kebenaran yang hakiki menurut para ahli hukum itu sendiri.

KPK dan Polri sama-sama mengajukan saksi ahli, masing-masing saksi ahli yang diajukan itu menyampaikan pendapat hukum yang berbeda, tergantung siapa yang menunjuknya sebagai saksi ahli. Perbedaan pendapat pakar hukum yang menjadi saksi ahli inilah yang membingungkan publik sehingga keputusan hakim yang mengadili perkara ini menjadi sesuatu yang diragukan kemurniannya secara hukum.

Keputusan seorang hakim memang tidak bisa dipengaruhi oleh apapun kecuali pada keyakinannya akan kebenaran hulkum itu sendiri, namun rangkaian peristiwa yang mengikuti perkara ini membuat publik berkesimpulan bahwa pengadilan ini hanyalah sebuah lelucon yang tidak lucu.

Rangkaian peristiwa dimaksud adalah pengajuan praperadilan itu sendiri yang menurut sebagian pakar hukum tidak bisa diterima karena berdasarkan KUHAP keputusan Penetapan Tersangka tidak termasuk sebagai objek hukum yang bisa dipraperadilankan.
Kalau merujuk pada pendapat diatas, maka dengan sendirinya permohonan praperadilan itu semestinya sejak awal sudah ditolak oleh pengadilan, dalilnya jelas karena tidak diatur dalam KUHAP.

Tetapi pendapat diatas dibantah oleh ahli hukum yang lain, dengan dalih bahwa hukum itu berkembang menurut dinamikanya, maka sesuatu yang tidak diatur oleh KUHAP bisa saja dilakukan dengan membuat terbosan hukum yang baru, dengan sendirinya pula hakim berwenang memperluas jangkauan wilayah praperadilan, meskipun tidak diatur oleh KUHAP.

Debat antar pakar hukum ini tidak hanya mempengaruhi jalannya persidangan, tetapi juga membuat publik yang menyaksikannya menjadi tertawa dalam hati. Tertawa dan merasa iba melihat orang-orang yang berprediket sebagai pakar hukum tetapi untuk satu persoalan praperdilan saja mereka berbeda pendapat, padahal mereka menggunakan sumber hukum yang sama, yakni KUHAP.

Jika perbedaan itu menyangkut kalimat yang multi tafsir barangkali bisa dimengerti, tetapi didalam pasal 77 KUHAP secara terang benderang dijelaskan bahwa objek praperadilan itu adalah tentang  (a) Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. (b) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidanya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penututan. Penetapan tersangka tidak tercantum dalam pasal praperadilan itu tetapi mengapa timbul perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat itu tidak hanya dipersidangan, tetapi juga diluar pengadilan, ada pakar  yang menilai sah dan tiak sedikit pula ahli hukm negeri ini yang menganggap cacat hukum, sehingga akhirnya hakim Sarpin memutuskan menerima gugatan praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan, artinya Hakim telah membuka peluang bagi para tersangka mulai dari pencopet diterminal sampai kepada pejabat negara yang Korup untuk mengajukan praperadilan. Ini benar-benar sebuah lelucon  yang tidak lucu.

0 comments: