Hakim Sarpin
Rizaldi sudah mengetuk palu, status tersangka bagi Komjen Budi Gunawan gugur
dengan sendirinya. Keputusan itu melapangkan jalan baginya untuk dilantik
sebagai Kapolri, sejalan dengan harapan PDI-P dan partai yang tergabung dalam
KIH yang sejak awal menginginkan agar presiden tetap melantik Budi Gunawan
sebagai Kapolri.
Jauh sebelum
adanya keputusan pengadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka atas diri
Budi Gunawan, KIH yang dimotori oleh PDI-P berusaha keras mendorong presiden
untuk melantik calon kapolri itu, bagi PDI-P status tersangka tidak mengurangi
hak seseorang untuk dilantik sebagai pejabat negara.
Persoalan yang
muncul kemudian bukanlah masalah jadi atau tidaknya Budi dilantik sebagai Kapolri,
tetapi pada kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum itu sendiri. Proses
persidangan praperadilan yang disiarkan secara terbuka telah membuat rakyat
negeri ini menjadi bingung akan kebenaran yang hakiki menurut para ahli hukum
itu sendiri.
KPK dan Polri
sama-sama mengajukan saksi ahli, masing-masing saksi ahli yang diajukan itu menyampaikan
pendapat hukum yang berbeda, tergantung siapa yang menunjuknya sebagai saksi
ahli. Perbedaan pendapat pakar hukum yang menjadi saksi ahli inilah yang
membingungkan publik sehingga keputusan hakim yang mengadili perkara ini
menjadi sesuatu yang diragukan kemurniannya secara hukum.
Keputusan
seorang hakim memang tidak bisa dipengaruhi oleh apapun kecuali pada
keyakinannya akan kebenaran hulkum itu sendiri, namun rangkaian peristiwa yang
mengikuti perkara ini membuat publik berkesimpulan bahwa pengadilan ini hanyalah
sebuah lelucon yang tidak lucu.
Rangkaian
peristiwa dimaksud adalah pengajuan praperadilan itu sendiri yang menurut sebagian
pakar hukum tidak bisa diterima karena berdasarkan KUHAP keputusan Penetapan
Tersangka tidak termasuk sebagai objek hukum yang bisa dipraperadilankan.
Kalau merujuk
pada pendapat diatas, maka dengan sendirinya permohonan praperadilan itu
semestinya sejak awal sudah ditolak oleh pengadilan, dalilnya jelas karena
tidak diatur dalam KUHAP.
Tetapi pendapat
diatas dibantah oleh ahli hukum yang lain, dengan dalih bahwa hukum itu
berkembang menurut dinamikanya, maka sesuatu yang tidak diatur oleh KUHAP bisa
saja dilakukan dengan membuat terbosan hukum yang baru, dengan sendirinya pula
hakim berwenang memperluas jangkauan wilayah praperadilan, meskipun tidak
diatur oleh KUHAP.
Debat antar
pakar hukum ini tidak hanya mempengaruhi jalannya persidangan, tetapi juga
membuat publik yang menyaksikannya menjadi tertawa dalam hati. Tertawa dan
merasa iba melihat orang-orang yang berprediket sebagai pakar hukum tetapi
untuk satu persoalan praperdilan saja mereka berbeda pendapat, padahal mereka
menggunakan sumber hukum yang sama, yakni KUHAP.
Jika perbedaan
itu menyangkut kalimat yang multi tafsir barangkali bisa dimengerti, tetapi
didalam pasal 77 KUHAP secara terang benderang dijelaskan bahwa objek
praperadilan itu adalah tentang (a) Sah
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian
penuntutan. (b) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidanya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penututan. Penetapan tersangka
tidak tercantum dalam pasal praperadilan itu tetapi mengapa timbul perbedaan
pendapat.
Perbedaan
pendapat itu tidak hanya dipersidangan, tetapi juga diluar pengadilan, ada
pakar yang menilai sah dan tiak sedikit
pula ahli hukm negeri ini yang menganggap cacat hukum, sehingga akhirnya hakim
Sarpin memutuskan menerima gugatan praperadilan yang diajukan oleh Budi
Gunawan, artinya Hakim telah membuka peluang bagi para tersangka mulai dari pencopet
diterminal sampai kepada pejabat negara yang Korup untuk mengajukan
praperadilan. Ini benar-benar sebuah lelucon
yang tidak lucu.
0 comments:
Post a Comment