“ Dalam berbalas pantun itu kedua
tokoh ini boleh menyampaikan saran dan kritik secara bebas tanpa harus didengar
oleh pihak asing. Adegan itu tentu akan menarik, karena ungkapan yang terucap
dari mulut mereka akan terasa segar ditelinga, beretika dan mengandung nilai
estetika meskipun sungguhnya yang terjadi adalah perang urat syaraf, saling
kritik dan sindir menyindir.”
SBY menulis dalam akun twiternya “Petik pelajaran di dunia, pemimpin yang selalu
dibenarkan perkataan & tindakannya, tak disadari akan bisa menjadi
diktator atau tiran. *SBY*”
“Setiap
pemimpin pastilah ingin berbuat yang terbaik. Tidak ingin jadi diktator atau
tiran & kemudian harus jatuh, spt yang kerap terjadi. *SBY* sambung SBY lagi.
Beberapa
jam kemudian terlihat pula Jokowi menulis stat di akun FB nya “ Kepemimpin yang
dipercaya diperoleh melalui kesadaran rakyat atas tujuan negara, sementara
kepemimpinan tirani adalah membungkam kesadaran rakyat bisa itu dengan bayonet atau pencitraan tanpa
kerja.”
Dibagian
lain, Jokowi kembali menjelaskan soal kepemimpinanna, “Dalam hal kepemimpinan
saya yang paling penting adalah membangun kepercayaan rakyat dengan kesadaran
penuh bahwa ada tujuan-tujuan besar negara ini menuju kemakmuran Indonesia
Raya.”
Tidak
ada penjelasan bahwa kicauan SBY itu ditujukan secara khusus kepada orang
tertentu, sebaliknya status FB Jokowi itu belum pasti pula merupakan jawaban
terhadap kicauan SBY itu. Namun publik sudah terlanjur meyakini bahwa SBY
sedang menyindir Jokowi lewat cuitannya dan Jokowi membalas sindiran itu lewat
status FB. Jadilah SBY dan Jokowi berhadap-hadapan didunia maya, berbalut
dengan jubah akun masing-masing dalam media sosial.
Jika
kesimpulan publik ini benar, maka “cuitan” SBY itu bisa diartikan bahwa dia
menghawatirkan pemujaan terhadap penggantinya melewati batas kewajaran, memberi
peringatan agar pemimpin tidak terbuai oleh pemujaan dan pembeoan yang bisa menyebabkan
sikap lupa diri dan merasa paling benar, ujung-ujungnya menjadi diktator.
Gayungpun
bersambut, Jokowi menjawabnya dengan sebuah keyakinan bahwa dia menjadi seorang
pemimpin atas kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dengan penuh kesadaran
akan tujuan bernegara, justeru itulah dia tidak ingin membungkam rakyat baik
dengan bayonet maupun pencitraan, tetapi menunjukan bukti dengan blusukan untuk
mencapai kemakmran Indonesia Raya.
Kejadian
ini memunculkan banyak komentar, sebagian menilai positif dan banyak pula yang
memandangnya sebagai sesuatu yang biasa saja. Namun, yang pasti adalah bahwa
telah terjadi pergeseran sikap diantara tokoh negeri ini yang biasanya lebih
sikap bermuka manis didepan publik.
Kritik
SBY yang ditanggapi dengan baik oleh Jokowi ini menjadi angin segar untuk alam
demokrasi kita, kritik bukanlah hal yang tabu lagi, bisa disampaikan secara
terbuka melalui sosial media dan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum,
sepanjang penyampaiannya dilakukan dengan cara yang santun dan beretika.
Tetapi,
satu hal yang terlupakan adalah bahwa media sosial yang mereka gunakan itu
berada di dunia maya. Penyebarannya
melintas tanpa mengenal batas wilayah negara. Sindiran SBY dan jawaban Jokowi
itu tidak hanya dibaca oleh rakyat
Indonesia, tetapi juga diketahui oleh pemilik akun sosmed dari negara lain.
Artinya, perseteruan kedua tokoh penting negeri ini disaksikan oleh penduduk
dunia.
Justeru
karena itu pula muncul ide dibenak saya untuk mengundang SBY dan Jokowi berada
dalam satu panggung, mengisi ruang dan waktu kita dengan berbalas pantun. SBY
menguraikan kisah dan pengalamannya selama sepuluh tahun memimpin negeri ini
dan Jokowi menyambutnya sambil bergegas melanjutkan tugas SBY sebagai presiden.
Dalam
berbalas pantun itu kedua tokoh ini boleh menyampaikan saran dan kritik secara
bebas tanpa harus didengar oleh pihak asing. Adegan itu tentu akan menarik,
karena ungkapan yang terucap dari mulut mereka akan terasa segar ditelinga,
beretika dan mengandung nilai estetika meskipun sungguhnya yang terjadi adalah
perang urat syaraf, saling kritik dan sindir menyindir.
Tapi
sayangnya ide membeku, manakala keduanya terlanjur lebih memilih media sosial
di dunia maya, maka sindir menyindir antar tokoh ini menyebar dengan cepatnya
keseluruh penjuru dunia, bahkan mungkin sambil makan Kwaci, Barack Obama
terpingkal-pingkal membacanya.
0 comments:
Post a Comment