Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

SBY dan Jokowi Berbalas Pantun

Written By lungbisar.blogspot.com on Friday, February 27, 2015 | 4:04 PM

“ Dalam berbalas pantun itu kedua tokoh ini boleh menyampaikan saran dan kritik secara bebas tanpa harus didengar oleh pihak asing. Adegan itu tentu akan menarik, karena ungkapan yang terucap dari mulut mereka akan terasa segar ditelinga, beretika dan mengandung nilai estetika meskipun sungguhnya yang terjadi adalah perang urat syaraf, saling kritik dan sindir menyindir.”
SBY  menulis dalam akun twiternya  “Petik pelajaran di dunia, pemimpin yang selalu dibenarkan perkataan & tindakannya, tak disadari akan bisa menjadi diktator  atau tiran. *SBY*”
“Setiap pemimpin pastilah ingin berbuat yang terbaik. Tidak ingin jadi diktator atau tiran & kemudian harus jatuh, spt yang kerap terjadi. *SBY*  sambung SBY lagi.
Beberapa jam kemudian terlihat pula Jokowi menulis stat di akun FB nya “ Kepemimpin yang dipercaya diperoleh melalui kesadaran rakyat atas tujuan negara, sementara kepemimpinan tirani adalah membungkam kesadaran rakyat  bisa itu dengan bayonet atau pencitraan tanpa kerja.”
Dibagian lain, Jokowi kembali menjelaskan soal kepemimpinanna, “Dalam hal kepemimpinan saya yang paling penting adalah membangun kepercayaan rakyat dengan kesadaran penuh bahwa ada tujuan-tujuan besar negara ini menuju kemakmuran Indonesia Raya.”
Tidak ada penjelasan bahwa kicauan SBY itu ditujukan secara khusus kepada orang tertentu, sebaliknya status FB Jokowi itu belum pasti pula merupakan jawaban terhadap kicauan SBY itu. Namun publik sudah terlanjur meyakini bahwa SBY sedang menyindir Jokowi lewat cuitannya dan Jokowi membalas sindiran itu lewat status FB. Jadilah SBY dan Jokowi berhadap-hadapan didunia maya, berbalut dengan jubah akun masing-masing dalam media sosial.
Jika kesimpulan publik ini benar, maka “cuitan” SBY itu bisa diartikan bahwa dia menghawatirkan pemujaan terhadap penggantinya melewati batas kewajaran, memberi peringatan agar pemimpin tidak terbuai oleh pemujaan dan pembeoan yang bisa menyebabkan sikap lupa diri dan merasa paling benar, ujung-ujungnya menjadi diktator.
Gayungpun bersambut, Jokowi menjawabnya dengan sebuah keyakinan bahwa dia menjadi seorang pemimpin atas kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dengan penuh kesadaran akan tujuan bernegara, justeru itulah dia tidak ingin membungkam rakyat baik dengan bayonet maupun pencitraan, tetapi menunjukan bukti dengan blusukan untuk mencapai kemakmran Indonesia Raya.
Kejadian ini memunculkan banyak komentar, sebagian menilai positif dan banyak pula yang memandangnya sebagai sesuatu yang biasa saja. Namun, yang pasti adalah bahwa telah terjadi pergeseran sikap diantara tokoh negeri ini yang biasanya lebih sikap bermuka manis didepan publik.
Kritik SBY yang ditanggapi dengan baik oleh Jokowi ini menjadi angin segar untuk alam demokrasi kita, kritik bukanlah hal yang tabu lagi, bisa disampaikan secara terbuka melalui sosial media dan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum, sepanjang penyampaiannya dilakukan dengan cara yang santun dan beretika.
Tetapi, satu hal yang terlupakan adalah bahwa media sosial yang mereka gunakan itu berada di dunia maya.  Penyebarannya melintas tanpa mengenal batas wilayah negara. Sindiran SBY dan jawaban Jokowi itu  tidak hanya dibaca oleh rakyat Indonesia, tetapi juga diketahui oleh pemilik akun sosmed dari negara lain. Artinya, perseteruan kedua tokoh penting negeri ini disaksikan oleh penduduk dunia.
Justeru karena itu pula muncul ide dibenak saya untuk mengundang SBY dan Jokowi berada dalam satu panggung, mengisi ruang dan waktu kita dengan berbalas pantun. SBY menguraikan kisah dan pengalamannya selama sepuluh tahun memimpin negeri ini dan Jokowi menyambutnya sambil bergegas melanjutkan tugas SBY sebagai presiden.
Dalam berbalas pantun itu kedua tokoh ini boleh menyampaikan saran dan kritik secara bebas tanpa harus didengar oleh pihak asing. Adegan itu tentu akan menarik, karena ungkapan yang terucap dari mulut mereka akan terasa segar ditelinga, beretika dan mengandung nilai estetika meskipun sungguhnya yang terjadi adalah perang urat syaraf, saling kritik dan sindir menyindir.

Tapi sayangnya ide membeku, manakala keduanya terlanjur lebih memilih media sosial di dunia maya, maka sindir menyindir antar tokoh ini menyebar dengan cepatnya keseluruh penjuru dunia, bahkan mungkin sambil makan Kwaci, Barack Obama terpingkal-pingkal membacanya.

0 comments: