Desakan agar KPK mengedepankan tindakan pencegahan korupsi sudah lama didengung-dengungkan oleh elite bangsa ini, terutama oleh kelompok yang selama ini merasa terganggu dengan kehadiran KPK yang begitu garang menyikat para pejabat dan politisi yang korup dan menyeretnya ke meja hijau.
Tindakan pencegahan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi KPK. Lembaga anti rasuah ini diharapkan tidak hanya menindak para koruptor tetapi juga melakukan tindakan preventif agar korupsi tidak terjadi. Dengan demikian diharapkan kejahatan korupsi bisa ditekan dan angkanya semakin hari kian berkurang.
Soal pentingnya pencegahan itu ditegaskan kembali oleh presiden pada hari Rabu yang lalu. “Saya minta KPK, dan perintahkan Polisi dan Kejagung betul-betul serius tangani kasus korupsi, tapi berikan prioritas pada pencegahan,” ujar presiden. Ucapan yang sama disampaikan kembali oleh Plt Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki saat jumpa pers digedung KPK.
Pencegahan itu memang penting, bila dilakukan sebelum kejhatan itu terjadi, dalam hal sudah terjadi maka pencegahan tidak lagi memiliki arti apa-apa, kecuali tindakan tegas untuk memberantasnya.
Dinegeri ini, Korupsi bagaikan penyakit kronis yang menggerogoti tubuh bangsa ini, bahkan ada yang menyimpulkan sudah menjadi budaya. Terjadi hampir diseluruh tingkatan, tidak mengenal ruang dan waktu, tergantung pada kesempatan yang dimiliki, yang tidak korup hanyalah orang tidak mendapat kesempatan. Sehingga orang yang terlihat bersih dari prilaku korup itu hanya karena belum terungkap.
Karena tingkat penyakit korup ini sudah sedemikian parahnya, maka arahan presiden agar KPK , Jaksa dan Polisi sungguh-sungguh menangani kasus korupsi dengan menempatkan tindakan pencegahan sebagai prioritas terasa agak kurang pas.
Pencegahan tanpa pemberantaan (atau lebih tepatnya penindakan) tidak akan membuat orang berhenti melakukan korupsi, karena dalam pencegahan tidak ada sanksi hukumnya. Seseorang yang disuatu ketika dicegah melakukan korupsi akan mengulanginya kembali ketika ada peluang dan kesempatan. Jadi, mengedepankan pencegahan saja tidaklah cukup membuktikan keseriusan kita dalam upaya memberantas korupsi.
Jika presiden memang serius ingin memberantas korupsi, seharusnya beliau mengingatkan para penegak hukum agar menghukum para koruptor itu dengan hukuman yang seberat-beratnya, minimal 20 tahun penjara atau dihukum seumur hidup tanpa memperoleh remisi
.
.
Saat ini hukuman untuk para koruptor itu masih sangat ringan dirasakan dan itupun masih ditambah lagi dengan memberikan berbagai kemudahan kepada mereka selama menjalankan hukuman. Dalam beberapa kali sidak petinggi Kemenkum-Ham kedapat ruang tahanan koru[tor disulap menjadi kamar pribadi dilengkapi dengan alat komunikasi dan televisi yang seharusnya tidak boleh ada. Kemudian pada hari-hari besar mereka masih mendapat pengurangan masa tahanan berupa remisi.
Selain fasilitas didalam tahanan dan remisi yang diberikan, harta benda yang mereka peroleh dari hasil korupsi itu masih bisa pula dinikmatinya bersama keluarga. Hukuman denda yang ditetapkan pengadilan tidak membuat koruptor menjadi jatuh miskin.
Hal – hal seperti inilah yang membuat orang tidak pernah berpikir untuk berhenti menjadi pencoleng uang negara. Tidak merasa malu dan jera dan bahkan dalam setiap kesempatan wajah koruptor yang muncul dimedia selalu nampak tersenyum ceria, meskipun statusnya sebagai terpidana.
Lebih dari itu, ucapan presiden yang meminta agar KPK, mengedepankan tindakan pencegahan sebagai prioritas bisa disalah artikan oleh pihak-pihak tertentu, akibatnya KPK yang semula merupakan lembaga yang diharapkan rakyat untuk memberantas korupsi berubah wujud menjadi Komisi PENCEGAHAN Korupsi. Sebuah perubahan yang sudah lama ditunggu oleh para koruptor.
0 comments:
Post a Comment