Anggota
partai Hanura Syukur Mandar melaporkan Ketua KPU Abdul Hafidz Anshary
ke Polri terkait penetapan suara Pilkada Halmahera Barat. Syukur merasa
keputusan yang diambil KPU Pusat berbeda dengan KPUD Halmahera Barat.
Selanjutnya
pada 15 Agustus 2011 Polri menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan dengan No. B/81/DP/VII/2011/Dit Pidum yang dikirimkan ke
Kejaksaan. Dengan dasar itu Wakil Jaksa Agung Darmono mengumumkan bahwa
Ketua KPU telah ditetapkan sebagai tersangka, namun pernyataan wakil
Jaksa Agung tersebut dibantah oleh Polri, dengan menyebutkan status
Abdul Hafidz belum tersangka, baru sebagai saksi.
“Yang menetapkan
tersangka atau bukan adalah penyidik.” Kata Kabareskrim Komjen Pol Sutarman, aksudnya jelas bahwa Polri belum menetapkan Abdul Hafidz sebagai tersangka.
Berbeda
pendapat memang hal yang lumrah, dan itu harus dihargai, namun jika dua
institusi penegak hukum berbeda pendapat soal status hukum seseorang
urusannya menjadi lain, bisa menimbulkan kerancuan dalam urusan
penegakan hukum itu sendiri, dan bisa menimbulkan isu negatif ditengah
publik, apalagi menyangkut status hukum seorang pejabat tinggi sekelas ketua KPU.
Kita
tentu tak ingin berlama-lama memperdebatkan status ketua KPU dimaksud,
apakah dia tersangka atau saksi. Yang menjadi masalah sekarang adalah
kenapa terhadap Abdul Hafidz Anshary, tiba-tiba dua instansi penegak
hukum kita berbeda penafsiran, padahal hukum acara yang dipakai adalah
sama yakni KUHAP. Sehingga timbul ungkapan “Beda Instansi beda penetapan
Status hukumnya”. Barangkali inilah yang perlu dikaji,
karena perbedaan ini sangat mencolok sekali dan diperdebatkan secara
terbuka didepan publik. Apakah ada persoalan yang tak beres soal
hubungan dan koordinasi antara Jaksa dan Polri, atau ada sesuatu dibalik
seorang yang bernama Abdul Hafidz Anshary yang kebetulan adalah seorang
ketua KPU, sebuah lembaga yang menjadi pelaksana pesta Demokrasi
dinegeri ini.
Entahlah ?
0 comments:
Post a Comment