Rapat Dengar Pendapat antara DPRD Pekanbaru, dengan KPU dan Pemko
Pekanbaru untuk membahas persiapan anggaran dana pemungutan suara ulang
(PSU), yang diselenggarakan pada Rabu 3 Agustus yang lalu , berakhir
tanpa keputusan.
Rapat yang seyogyanya membahas anggaran Pemungutan Suara Ulang
sebagaimana yang diamanahkan oleh putusan MK tersebut berlangsung panas,
diwarnai interupsi diantara para pendukung pasangan calon wali kota dan
wakil wali kota.
Wakil rakyat dari Partai Golkar malah mempersoalkan kehadiran Dorman
Djohan terkait legalitas jabatannya sebagai Pelaksana Tugas Sekretaris
Kota (Sekko). Tersinggung dengan ucapan beberapa wakil rakyat, Dorman
meninggalkan ruang rapat. "Kalau kehadiran saya membuat rapat ini batal,
lebih baik saya keluar," tegasnya.
Ketua DPRD Pekanbaru Desmianto akhirnya memutuskan untuk menutup
rapat. "Suasana panas. Tak lagi cocok untuk bicara. Nanti kita tentukan
rapat lanjutan," katanya , dan sejak itu PSU untuk pemilihan Walikota
Pekanbaru menjadi berlarut-larut, hingga akhirnya KPU Kota Pekanbaru
mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan PSU ke MK, sekali lagi MK
memutuskan penundaan paling lambat 90 hari sejak tanggal ditetapkan
(07/10).
Idem dito dengan keputusan MK yang pertama, dalam keputusan penundaan
yang kedua ini MK juga tidak menyebutkan sanksi apa yang akan diberikan
kepada KPU jika tidak melaksanakan PSU dalam waktu yang ditetapkan.
Sementara itu warga Pekanbaru sudah merasakan akibat berlarut-larutnya
pelaksanaan PSU tersebut.
Dalam amar keputusan MK pada Huruf (f) butir (2) dicantumkan:
"Terdapat rangkaian fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan
yang meyakinkan Mahkamah Konstitusi bahwa ada upaya untuk menunda
pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Kota Pekanbaru yang dilakukan secara
terstruktur, sistematis, dan masif yang juga dilakukan secara
konspiratif oleh Pemohon, Termohon, dan Pejabat Walikota Pekanbaru."
Itulah Fakta persidangan, bahwa penundaan PSU bukan semata-mata
disebabkan oleh ketiadaan dana, tetapi karena ada unsur lain yang
disengajakan oleh pihak-pihak terkait. Sementara itu, pejabat walikota
Pekanbaru, melakukan mutasi terhadap 134 PNS dilingkungan Pemko, dengan
alasan bahwa putusan MK Nomor 63/PHPU.DIX/ 2011 bertanggal 24 Juni 2011,
yang isinya membatalkan hasil Pemilukada Pekanbaru karena adanya
kecurangan yang terstruktur dan masif. Kesimpulan itu kemudian
diterjemahkan Syamsurizal dengan mengganti seluruh camat dan lurah, maka
terjadilah mutasi besar-besaran tersebut.
Mutasi ini berbuntut pada penolakan PNS yang bersangkutan, mereka
tidak terima dimutasikan dengan alasan seperti itu, apalagi akibat
keputusan tersebut ada yang demosi dan non job (kehilangan jabatan).
Akibatnya hampir setiap hari kita membaca berita diberbagai media lokal
tentang kecamatan yang dipimpin oleh 2 Camat. Dualisme kepemimpinan
ditingkat kecamatan ini sungguh membingungkan pegawai dijajarannya dan
berujung pada terabaikannya pelayanan publik.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Pemungutan suara Ulang ini,
benarkah KPU tidak punya dana untuk menyelenggarakannya, atau ada agenda
lain dibalik itu, misalnya sengaja menunda lebih lama agar calon
tertentu bisa menyusun strategi dan taktis untuk memenangkan
pertarungan? Wallahu'alam.
0 comments:
Post a Comment