Lembaran media dan layar kaca televisi dalam sepekan ini penuh dihiasi wajah kusam dunia pendidikan kita, menjadi topik hangat dalam berbagai perbincangan, menjadi headline dalam berbagai media dan membuat nama serta wajah Mendikbud menjadi akrab ditelinga dan dimata publik.
Beritanya seakan tak beranjak dari kacau balaunya pelaksanan Ujian Nasional, tak ada yang enak untuk didengar, tak ada yang menarik untuk disimak, kecuali rintihan pilu yang menyayat kalbu mengeluarkan desahan nafas dari rongga dada yang sempit, sempit hati dan pikiran seakan membuat mata tak kuat menatap kedepan, menatap masa depan pendidikan kita.
Bangsa lain sudah bolak balik kebulan, Amerika sudah sudah berencana akan bercocok tanam diangkasa, mungkin juga China sedang berpikir bagaimana memindahkan sebagian penduduknya ke Bulan, sementara kita masih berkutat soal ujian yang terlambat, lembaran ujian yang tak sampai dan harus diphoto copy, jadwal ujian yang molor, percetakan yang tidak becus, dan anehnya lagi disela-sela ketidak pastian kapan sebagian anak didik kita akan ujian, menterinya malah berkata galau, merasa tengah diuji, entah diuji oleh siapa ?
Pelaksanaan Ujian secara Nasional yang disebut sebagai UN ini sejak awal sudah bermasalah, lahir dari sebuah perencanaan yang kurang matang, terkesan dipaksakan dan barangkali juga ada suatu kepentingan bisnis dibalik itu yang dibungkus dengan kata manis untuk kesetaraan nilai dan mutu pendidikan yang berstandar Nasional.
Namun kenyataannya menjadi lain, setiap tahun menuai masalah, soal harus dikawal oleh polisi bersenjata lengkap, tentara dikerahkan mengantar soal yang terlambat sampai ketujuan, anak didik dibayang-bayangi oleh rasa takut, UN bagi mereka yang sekolah didaerah terpencil bermetafora menjadi hantu yang menakutkan, mereka takut yang disoalkan dalam UN nanti adalah sesuatu yang belum mereka pelajari.
Suasana jadi mencekam, tiap tahun korban berjatuhan terjerat kasus membocorkan soal, mengirim jawaban soal lewat BBM dan pesan singkat, mengedarkan kertas jawaban palsu dalam bentuk salinan dan lain sebagainya yang kesemuanya itu mengorbankan anak didik kita, sungguh memilukan.
Bagaimana dengan Pak Menteri, apa tanggapannya atas kejadian ini, beranikah dia mengatakan bahwa gagasan UN ini sudah gagal, dan tak perlu dilanjutkan lagi, sehingga tahun depan suasana mencekam seperti sekarang ini sudah tidak muncul lagi, anak didik kita tidak perlu takut dengan soal ujian yang berbeda dengan pelajaran mereka, polisi tidak perlu mengerahkan personilnya hanya untuk mengawas soal ujian, tentara tak perlu berkeringat lagi karena harus berjalan kaki menyusuri lereng dan mendaki bukti yang terjal hanya karena harus mengantar soal.
Sudahlah Pak, mari sama-sama kita akhiri semuanya ini, mari sama-sama kita pikirkan kembali bagaimana sebaiknya memberikan ujian terhadap anak didik kita, apakah tidak lebih kita serahkan saja kepada guru yang mendidiknya.
Satu hal yang perlu menjadi bahan renungan adalah ujian yang disebut berstandar Nasional ini bukanlah jaminan mutu bagi dunia pendididikan itu sendiri, justeru karenanya sudah sepantasnya lembaran UN ini kita tutup sebelum masa jabatan pak Menteri berakhir.
0 comments:
Post a Comment