Begitu masuk toko sepatu, Lung Bisar langsung minta dicarikan sepatu merek Pertakus ukuran No. 9, tapi pelayan toko itu tetap saja diam dan tak beranjak dari hadapannya, seumur-umurnya jadi pelayan dia tak pernah tau ada sepatu merek Pertakus dengan size No. 9. Tapi dia tidak mau membuat pelanggannya yang satu ini merasa kecewa, diapun memutar otaknya mencari akal bagaimana Lung Bisar bisa membeli sepatu merek lain, atau pertakus dengan ukuran yang lebih kecil.
Dia coba menawarkan sepatu merek yang lain, bentuknya lebih bagus, mengkilat dan terbuat dari kulit Buaya, ukurannya pas dengan kaki Lung Bisar. Tapi dengan tegas Lung Bisar menolak tawaran itu, dia tak mau berpindah kelain sepatu selain merek pertakus, “dari dulu saya tetap setia dengan merek itu, ringan dipakai dan tidak membuat kaki lecet.” Katanya memberi alasan.
“Ini juga ringan lho pak, nyaman dikaki dan terbuat dari kulit Buaya lagi, bahan langka,” ucap pelayan itu. Lung Bisar kontan menolak dengan alasan sepatu yang ideal baginya hanya “Pertakus” akronim dari Pertanda tidak rakus,” katanya dengan mimik yang serius.
“Maksudnya Pak ?”
“Saya tak mau menjadi manusia tamak dan rakus, jangan sampai produksi sepatu memusnahkan Buaya dilaut, populasinya sudah makin berkurang sementara Buaya Darat makin berkembang,” Jawab Lung Bisar.
“Ini ada Pertakus tapi sizenya no 7,” jawab pelayan toko itu sambil tersenyum nakal.
“Wah, kalau untuk nomor urut yang kecil itu kamu kasikan saja sama caleg, mereka sekarang sedang berebut nomor yang rendah agar ada jaminan bekerja selama lima tahun lagi.” Pelayan itu agak bingung mendengarnya, tapi belum sempat dia bertanya Lung Bisar langsung menimpalinya lagi. “Sekarang ini para politisi kita sedang kasak kusuk berebut nomor urut terkecil.”
Hening sejenak, dan perbincangan merekapun beralih dari sepatu kenomor urut Caleg, “para caleg kita saat ini memang sedang dilanda persoalan nomor urut, mereka khawatir nomor urut besar akan mempengaruhi pilihan rakyat. Makanya ada partai yang terpaksa menunda pengajuan DCS ke KPU gara-gara kadernya mengundurkan diri karena tak dapat nomor urut rendah, dan ada pula partai yang menempatkan wajah-wajah lamanya diurutan teratas sementara caleg yang baru berada diurutan bawah, dengan kata lain para politisi kita masih terganjal perasaan trauma masa silam ketika pemilu ditentukan oleh nomor urut.”
“Ironis sekali, orang-orang yang bakal duduk diparlemen memperdebatkan sesuatu yang sudah tidak ada artinya lagi. Seharusnya mereka sadar, bahwa sistem pemilu negeri ini sudah berubah, tidak tergantung pada nomor urut pada daftar yang dibuat oleh parpol, tapi sangat-sangat tergantung pada pilihan rakyat. Berada diurutan teratas sekalipun seorang caleg, akan bernasib malang jika rakyat tidak memilihnya, sebaliknya caleg dinomor buntut akan duduk jika mampu meraup suara pemilih.”
“Ini pertanda apa Pak ?” Tanya pelayan toko itu.
“Inilah pertanda ketidak beresan akal sehat para caleg, jika mereka memang benar-benar menjalankan amanah rakyat selama lima tahun ini tentu mereka tidak akan tergagap-gagap menghadapi persoalan ini, wakil rakyat yang selama ini memang merakyat pasti tidak akan mempersoalkan nomor urut berapa dia dipasang, dia yakin akan terpilih meskipun berada dinomor buntut dan diatasnya diisi oleh para artis ternama.” Sela pelayan toko itu.
“Ya, pintar kamu,” Potong Lung Bisar. “Tapi, mencari caleg yang legowo seperti itu saat ini agak susah, yang mau nomor besar itu hanya saya sendiri, itupun untuk ukuran sepatu, bukan nomor urut caleg,” jelas Lung Bisar menutup pembicaraannya.
0 comments:
Post a Comment