DPR merencanakan pengesahan RUU Ormas menjadi Undang-Undang dalam rapat
paripurna pada Jum’at 12 April mendatang. Entah apa yang ingin dicapai oleh DPR
dan Pemerintah sehingga pengesahan RUU dimaksud begitu digesakan, padahal kalau
dilihat dari urgensinya masih banyak hal lain yang harus mendapat perhatian, salah
satunya termasuk masalah anggota Dewan yang selalu mangkir dalam sidang.
Sementara itu diluar gedung DPR terdengar suara penolakan dari beberapa
organisasi kemasyarakatan, terutama oleh ormas besar seperti Muhammadiyah dan
NU. Kedua Ormas ini selain memiliki basis masa dan ruang lingkup kegiatan yang
luas juga merupakan Ormas yang jauh lebih tua dari usia republik ini.
Penolakan terhadap RUU Ormas ini, lebih disebabkan karena didalamnya
banyak pasal-pasal yang tidak memenuhi unsur demokrasi sebagaimana yang
diamanatkan oleh pasal 28 UUD 1945. RUU ini terlalu memberian wewenang kepada
pemerintah untuk mengatur dan mengawasi kegiatan Ormas, sehingga kebebasan
berserikat sebagaimana yang dijamin oleh UUD terancam menjadi kebebasan yang
semu.
RUU
ini memberikan wewenangan kepada Pemerintah
(pusat maupun daerah) untuk mengatur dan mengawasi Ormas, terutama dalam
hal mendirikan dan mendaftarkan Ormas. Pasal-pasal ini ditutup dengan
kewenangan Pemerintah untuk mengaturnya lebih lanjut dengan peraturan.
Semisalnya soal pendirian Ormas
yang berbadan hukum, diatur pada BAB IV, pasal 11
ayat 1 huruf ( i ) Pengesahan sebagai badan hukum
perkumpulan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan
hak asasi manusia.
Kemudian untuk Orgnaisasi yang tidak berbadan hukum diatur dalam pasal 14
ayat (1) Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf b memberitahukan keberadaannya secara tertulis
kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai alamat dan domisili.
Kedua
pasal tersebut secara gamblang menyebutkan adanya kewenangan pemerintah baik
ditingkat pusat maupun didaerah dalam hal pengesahan berdirinya sebuah
organisasi, padahal UUD menjamin kebebasan bagi tiap-tiap warga negara untuk
berkumpul dan berserikat tanpa harus disyhakan oleh pemerintah.
Lazimnya,
kewenangan pengesahan itu tentunya akan melekat pula kewenangan untuk
mencabut/membubarkannya. Pasal ini tentunya akan menjadi momok yang menakutkan,
karena suatu saat pemerintah bisa memanfaatkannya, dan ini tentunya akan mengurangi
keberanian para pengurus Ormas untuk mengkritisi pemerintah.
Pasal
11, 13 dan pasal 18 dalam RUU ini, ditutup dengan kalimat ketentuan lebih
lanjut diatur dengan peraturan pemerintah, dengan demikian RUU ini telah
memberikan mandat penuh kepada Pemerintah untuk membuat aturan dan
syarat-syarat mendirikan dan mendaftarkan Organisasi kemasyarakatan sesuai
dengan apa yang diinginkannya.
Kejanggalan
lain dalam RUU ini adalah soal pengakuan sebuah Ormas yang hanya sampai pada
tingkat pemerintahan Kabupaten Kota, organisasi yang berada ditingkat kecamatan
atau desa tidak dikenal oleh RUU Ormas ini, padahal realitanya kita memiliki
organisasi kemasyarakatan pada tingkat terendah yakni RT dan RW.
Pendirian
sebuah Ormas merupakan hak yang melekat dan dijamin oleh UUD, justeru karenanya,
Pemerintah dan DPR selayaknya bisa memberikan jaminan kebebasan berserikat,
berkumpul dan menyatakan pendapat terhadap publik dengan mengajukan RUU Ormas
yang lebih baik dari UU No. 8 Th 1985. Tidak terlalu jauh mengatur, mengawasi
apalagi sampai membubarkan sebuah Ormas.
Memberikan
wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengawasi kegiatan Ormas, akan
menjadi bias dan bisa berakibat pengekangan terhadap Ormas itu sendiri,
akibatnya kebebasan yang dijamin oleh UUD akan terbelenggu.
Jika
dalam praktiknya ada pengurus atau anggota Ormas yang melakukan tindakan
melawan hukum, seperti tindakan anarkis, makar dan kejahatan lainnya, maka
pemerintah dapat menindak para pelakunya dengan UU yang sudah ada, tetapi tidak
dengan cara membubarkan organisasinya, karena membubarkan sebuah organisasi
bertentangan dengan pasal 28 UUD negara kita. Dan
oleh karena itu pulalah Muhammadiyah dan NU, serta beberapa ormas lainnya menolak RUU tersebut disyahkan menjadi
Undang-Undang.
0 comments:
Post a Comment