Ketika dilaporkan tentang adanya surat dari M. Nazaruddin yang
ditujukan kepadanya, SBY menanggapinya dengan penuh keheranan. "Kenapa
dikaitkan ketingkat saya," kata Presiden sebagaimana diungkapkan oleh
jubir Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, di Kantor Presiden, Jakarta,
Jumat (19/8/2011).
Julian mengaku bahwa surat tersebut hingga kini belum sampai
keistana, dan dia hanya mengetahuinya melalui media, isinya berupa
pernyataan kesediaan Nazar memikul segala kesalahan dan mohon
perlindungan agar anak dan isterinya tidak diganggu.
Surat Nazar ini mengandung makna, bahwa saat ini sesungguhnya banyak
pihak yang semestinya ikut bertanggung jawab didepan hukum, dan para
pihak tersebut saat ini merasa tidak nyaman sehingga berupaya menekan
dirinya dengan cara mengganggu anak dan isterinya.
Rasa heran tersebut sesungguhnya bukan hanya milik SBY, publik juga
keheranan melihat sikap Nazar yang berubah secara drastis, dulu ketika
masih dipersembunyiannya berulang kali Nazar mengingatkan berbagai pihak
bahwa dia tidak mau dihukum sendiri. Secara tegas dan dengan garangnya
Nazar menyebutkan nama beberapa pihak yang terlibat dalam persekongkolan
jahat mengeruk keuangan negara untuk dikorup. Kini Nazar malah diam,
dan sebaliknya memohon kepada presiden untuk mengamankannya, biarlah
semua kesalahan itu dia tanggung sendiri asal anak dan isterinya tidak
diganggu.
Sekarang ketegaran Nazar seakan sirna, dia tidak garang seperti
dipersembunyian dulu lagi, dan bahkan menulis surat kepresiden yang
sedemikian bunyinya.
Namun bisakah seorang presiden mencampuri urusan hukum sehingga
segala sesuatunya menjadi selesai dengan begitu saja, tanpa melalui
proses hukum yang semestinya dia jalani.
Tentu saja tidak, Nazar harus bicara didepan pengadilan tentang apa
yang sudah terjadi , dia harus berani mengatakan secara jujur siapa saja
yang ikut menikmati hasil garongannya, dengan siapa dia bekerja sama
dan fakta persidangan harus menjadi bahan bagi KPK untuk mengusut kasus
ini secara tuntas.
Jika dia bungkam dan mengaku lupa, berlagak pilon didepan penyidik
maka masih ada bukti lain yang bisa dijadikan dasar hukum untuk
mengadilinya. Keterangan saksi-saksi yang lain misalnya, atau nama-nama
yang pernah disebutkan Nazar sebagai orang yang terlibat itu harus ikut
diperiksa, dan pihak-pihak yang pernah menerima aliran dana dari
Nazaruddin juga harus diminta kesaksiannya, dalam hal ini KPK bisa
meminta PPATK membuka aliran dana dan transaksi keuangan dari rekening
Nazar kepihak-pihak yang diduga terlibat.
Akan halnya keheranan SBY akan semakin besar ditambah dengan
keheranan publik manakala kenyataannya dikemudian hari, bahwa hanya
Nazaruddin sendirilah yang memikul beban kasus yang besar ini, kasus
yang menurut keterangan ketua KPK Busyro bernilai Rp. 6,03 Triliyun,
sebuah nilai yang cukup mencengangkan rakyat kecil, dan pekerjaan dengan
nilai sebesar itu tak mungkin dikerjakan oleh Nazar sendiri.
Jika benar hanya Nazar yang terpuruk akibat kasus ini barangkali
sangat tepatlah perumpamaan yang dibuat oleh Ekonom Faisal Basri , bahwa
"Ada kawanan banteng yang sedang rileks menikmati santapan, kemudian
ada harimau dan singa yang ingin menerkam. Maka kaburlah kerbau-kerbau
ini. Nah, kerbau yang paling mudah dimangsa ada satu, yang paling
kecil,"
SBY heran, rakyatpun heran, dan mari kita sama-sama mengherankan diri.
0 comments:
Post a Comment