Berhari-hari sudah kita
dijejali oleh berita retaknya perahu koalisi, taik kuping rakyat seperti
menari-nari dibuatnya dan berita ini seakan menjadi higangan yang mau tidak mau
harus disantap. Wajib hukumnya bagi mata dan telinga rakyat Indonesia untuk
mendengar dan menyaksikan debat sengit antara SBY dan PD disatu sisi dengan PKS
dilain pihak.
Para elite bangsa ini
seakan menempatkan pembicaraan soal koalisi ini menjadi sesuatu yang harus
didahulukan, yang lainnya meskipun lebih penting dari itu boleh dilupakan. Pembicaraan
yang tidak berhubungan dengan cerita Koalisi harap disimpan rapat-rapat dalam
almari besi dan diberi tujuh lapis gembok. Yang diperbincangan
hanyalah soal “apakah” PKS akan hengkang
dari Koalisi, atau “apakah” SBY akan mendepak PKS dari Koalisi.
Pertanyaan tentang “apakah” yang menyiratkan banyak makna dan
jawabannya inilah yang diurai sepanjang
waktu, mulai dari matahari terbit diufuk Timur hinga terbit kembali esok paginya. Meskipun tak menemui jawaban pasti , pertanyaan
itu tetap saja digulirkan, dan kalaupun ada pihak yang berkesempatan memberikan
jawaban maka isinya tetap saja ngambang, bahkan semakin menambah daftar
“Apakah”.
Dengan logika
sederhana, sebenarnya mudah saja bagi SBY untuk mendepak PKS. Selaku pimpinan
Koalisi dia bisa saja mengucapkan “Selamat jalan PKS, perbedan sikap dan
pandangan diantara kita sudah menganga sedemikian lebarnya, sudah tidak bisa
dikatup lagi, maka saya putuskan untuk mengeluarkan kamu dari perahu ini”,
urusannya selesai dan perdebatan ditutup.
Atau sebaliknya PKS
tampil dengan ksatria bilang sama SBY, “Pak presiden, kita sudah tidak sepaham
lagi soal harga BBM dan demi memperjuangkan nasib rakyat kami angkat kaki dari
koalisi.
Tapi sayangnya,
pihak-pihak yang berpolemi ini tidak satupun yang berani bersikap, baik SBY
selaku pimpinan Koalisi maupun PKS sebagai anggotanya, keduanya saling menunggu
pihak lawan membuat keputusan, dan dalam situasi menunggu inilah perut rakyat
serasa mau muntah mual dibuatnya, mual
disebabkan oleh perangai para elite yang asik dengan pencitraan.
SBY sepertinya sengaja
menunggu agar PKS berinisiatif untuk
mengatur langkah mundur , sehingga dia tidak dicitrakan seperti habis manis
sepah dibuang, demikian juga dengan PKS, bersikap menuggu didepak oleh SBY agar
bisa dicitrakan sebagai Partai yang terzolimi. Kedua-duanya bertahan dalam sebuah
perahu retak yang bernama koalisi, dan ini sungguh sangat tidak menguntungkan
rakyat. Karena diujung perdebatan panjang ini rakyat hanya menunggu keputusan
tentang harga BBM yang sudah pasti akan naik.
0 comments:
Post a Comment