Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Kebangkitan Nasional

Written By lungbisar.blogspot.com on Sunday, May 20, 2012 | 7:17 PM

Tanggal 3 Juli 1946 Tan Malaka dan Mohammad Yamin melakukan kudeta, merebut kekuasaan negara secara paksa. Kudeta tersebut ditengarai mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan bangsa. Oleh karenanya Muhammad Hatta memandang perlu membangkitkan kembali kesadaran Nasional untuk membangun Indonesia kedepan.

Untuk mengobarkan kembali semangat persatuan dan kesatuan itu, maka dipilihlah hari lahirnya BOEDI OETOMO (perkumpulan yang didirkan oleh Sutomo dan rekan-rekannya dari STOVIA tanggal 20 mei 1908), sebagai hari kebangkitan Nasional. Diyakini oleh banyak pihak, bahwa perkumpulan Boedi Utomo telah mengilhami berbagai tokoh pergerakan bangsa untuk bangkit dan bersatu melawan penjajahan, maka secara berturut-turut kemudian lahirlah Soempah Pemuda, Indische Partij, Syarikat Dagang Islam, Muhammadiyah dan muaranya adalah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, dan selanjutnya tanggal 20 mei diperingati sebagai hari kebangkitan Nasional.

Kemdian sejarah berulang kembali, 90 tahun berikutnya Indonesia kembali bergolak, mahasiswa menuntut agar penguasa yang dijalankan secara otoriter direformasi menjadi pemerintahan yang demokratis. Gerakan Mahasiswa yang mendapat dukungan dari sebagian besar komponen bangsa itu akhirnya berhasil menurunkan Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru, dan melahirkan era pembaharuan yang lazim disebut sebagai era Reformasi.

Reformasi yang dicita-citakan oleh gerakan mahasiswa itu kini sudah berusia 14 tahun, Soeharto yang dianggap sebagai penguasa tunggal Orde baru sudah dilengserkan, rezim otoriter sudah dikuburkan, tapi nasib bangsa ini masih saja memprihatinkan, perubahan kekuasaan dari otoriter ke Demokrasi ternyata tidak dengan begitu saja  mampu memenuhi harapan publik untuk bangkit dari keterpurukan. Jangankan untuk mengatasi hal-hal yang besar dan fundamental, mengatur BBM saja pemerintahan sekarang ini kelimpungan. Kesenjangan sosial makin menganga lebar, pembangunan selalu identik dengan penggusuran, pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah seperti membangun permusuhan. Demokrasi bergerak kearah yang salah dari substansial menjadi transaksional.

Penegakan hukum masih tebang pilih, bagaikan pisau dapur yang tajam kebawah tapi tumpul keatas. Korupsi merajalela, merasuk disetiap sudut dan ruang penyelenggara negara, baik di eksekutif,  legislatif maupun pihak yudikatif saling melindungi dan bekerja sama. Jika zaman Orba, pejabatnya melakukan korupsi dibawah meja, maka diera Reformasi ini dengan meja-mejanya sekalian dikorup secara berjamaah.

Pemberantasan Korupsi terasa bagaikan jalan ditempat, KPK dengan segenap kekuasaan yang dimilikinya seakan tak mampu berbuat banyak karena tumpukan perkara semakin menjadi, selesai satu tumbuh seribu. Kasus-kasus besar seperti mafia pajak, Bail Out Century, Rekening Gendut dan Wisma Atelit yang ditengarai melibatkan berbagai pihak tidak selesai dengan tuntas, bahkan menjadi permainan politik dan menjadi alat tawar menawar antara para politisi.

Partai Politik yang diharapkan menjadi pilar Demokrasi, ternyata gagal menjalankan fungsinya, sehingga seorang Pramono Anung menulis kesimpulan dalam disertasinya bahwa sebagian besar angota parpol yang masuk ke DPR bukan untuk mewakili rakyat, tapi untuk mengais rezeki.
Dalam situasi yang seperti ini, diharapkan ada pemimpin yang seara tulus ikhlas mengabdi demi kepentingan bangsa, berbuat yang terbaik dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun jika yang muncul kemudian adalah para penabur janji dan pembual yang tak pernah mampu melakukan perubahan kearah yang lebih baik, maka Hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati hari ini akan berubah maknanya menjadi HARI KEBANGKRUTAN NASIONAL.

0 comments: