Tanggal 3 Juli 1946 Tan Malaka dan Mohammad Yamin melakukan kudeta,
merebut kekuasaan negara secara paksa. Kudeta tersebut ditengarai
mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan dikhawatirkan akan menimbulkan
perpecahan bangsa. Oleh karenanya Muhammad Hatta memandang perlu
membangkitkan kembali kesadaran Nasional untuk membangun Indonesia
kedepan.
Untuk mengobarkan kembali semangat persatuan dan kesatuan itu, maka
dipilihlah hari lahirnya BOEDI OETOMO (perkumpulan yang didirkan oleh
Sutomo dan rekan-rekannya dari STOVIA tanggal 20 mei 1908), sebagai hari
kebangkitan Nasional. Diyakini oleh banyak pihak, bahwa perkumpulan
Boedi Utomo telah mengilhami berbagai tokoh pergerakan bangsa untuk
bangkit dan bersatu melawan penjajahan, maka secara berturut-turut
kemudian lahirlah Soempah Pemuda, Indische Partij, Syarikat Dagang
Islam, Muhammadiyah dan muaranya adalah proklamasi kemerdekaan RI pada
tanggal 17 Agustus 1945, dan selanjutnya tanggal 20 mei diperingati
sebagai hari kebangkitan Nasional.
Kemdian sejarah berulang kembali, 90 tahun berikutnya Indonesia
kembali bergolak, mahasiswa menuntut agar penguasa yang dijalankan
secara otoriter direformasi menjadi pemerintahan yang demokratis.
Gerakan Mahasiswa yang mendapat dukungan dari sebagian besar komponen
bangsa itu akhirnya berhasil menurunkan Soeharto sebagai penguasa rezim
Orde Baru, dan melahirkan era pembaharuan yang lazim disebut sebagai era
Reformasi.
Reformasi yang dicita-citakan oleh gerakan mahasiswa itu kini sudah
berusia 14 tahun, Soeharto yang dianggap sebagai penguasa tunggal Orde
baru sudah dilengserkan, rezim otoriter sudah dikuburkan, tapi nasib
bangsa ini masih saja memprihatinkan, perubahan kekuasaan dari otoriter
ke Demokrasi ternyata tidak dengan begitu saja mampu memenuhi harapan
publik untuk bangkit dari keterpurukan. Jangankan untuk mengatasi
hal-hal yang besar dan fundamental, mengatur BBM saja pemerintahan
sekarang ini kelimpungan. Kesenjangan sosial makin menganga lebar,
pembangunan selalu identik dengan penggusuran, pemilihan umum, pemilihan
presiden, dan pemilihan kepala daerah seperti membangun permusuhan.
Demokrasi bergerak kearah yang salah dari substansial menjadi
transaksional.
Penegakan hukum masih tebang pilih, bagaikan pisau dapur yang tajam
kebawah tapi tumpul keatas. Korupsi merajalela, merasuk disetiap sudut
dan ruang penyelenggara negara, baik di eksekutif, legislatif maupun
pihak yudikatif saling melindungi dan bekerja sama. Jika zaman Orba,
pejabatnya melakukan korupsi dibawah meja, maka diera Reformasi ini
dengan meja-mejanya sekalian dikorup secara berjamaah.
Pemberantasan Korupsi terasa bagaikan jalan ditempat, KPK dengan
segenap kekuasaan yang dimilikinya seakan tak mampu berbuat banyak
karena tumpukan perkara semakin menjadi, selesai satu tumbuh seribu.
Kasus-kasus besar seperti mafia pajak, Bail Out Century, Rekening Gendut
dan Wisma Atelit yang ditengarai melibatkan berbagai pihak tidak
selesai dengan tuntas, bahkan menjadi permainan politik dan menjadi alat
tawar menawar antara para politisi.
Partai Politik yang diharapkan menjadi pilar Demokrasi, ternyata
gagal menjalankan fungsinya, sehingga seorang Pramono Anung menulis
kesimpulan dalam disertasinya bahwa sebagian besar angota parpol yang
masuk ke DPR bukan untuk mewakili rakyat, tapi untuk mengais rezeki.
Dalam situasi yang seperti ini, diharapkan ada pemimpin yang seara
tulus ikhlas mengabdi demi kepentingan bangsa, berbuat yang terbaik dan
mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun jika yang muncul kemudian
adalah para penabur janji dan pembual yang tak pernah mampu melakukan
perubahan kearah yang lebih baik, maka Hari Kebangkitan Nasional yang
kita peringati hari ini akan berubah maknanya menjadi HARI KEBANGKRUTAN
NASIONAL.
7:17 PM | 0
comments | Read More