Siang dengan mentari yang menyengat tubuh, Lung Bisar berhenti
didepan sebuah rumah makan. Lama dia berdiri disitu hingga pemilik warung itupun datang menghampirinya, mengajaknya
masuk dan menawarkan hidangan yang tersedia. Lung Bisar sadar bahwa tawaran itu
bukanlah tawaran yang gratis karena dia tau tabiat pemilik warung yang bakhil
itu, sementara disakunya hanya ada beberapa keping uang logam sisa membayar sebotol
Bi cui dan sekeping kue Bijan di kedai Helam.
“Masuk Lung, masih banyak meja yang kosong,” tutur pemilik
warung itu.
”Ma kasih”, jawab Lung Bisar. Biarlah saya berdiri disini sejenak menikmati aroma bakar Belacan dari dapur tuan,” sambungnya lagi.
”Ma kasih”, jawab Lung Bisar. Biarlah saya berdiri disini sejenak menikmati aroma bakar Belacan dari dapur tuan,” sambungnya lagi.
“Wah, kenak ni Lung Bisar,” desis pemilik warung itu dalam
hatinya. “Ulung harus bayar,” Katanya sambil tersenge-sengeh.
“Bayar apanya ?” Tanya Lung Bisar dengan heran.
“Ulungkan sudah menikmati harumnya Bakar Belacan saya, ya
harus bayar dong, mana ada yang gratis disini,” jawab pemilik warung itu dengan
tegas.
“Dengan apa mau saya bayar.” Kata Lung Bisar sambil merogoh
sakunya lalu ia mengeluarkan uang logamnya yang hanya tinggal beberapa keping.
“Tak mau tau,” potong pemilik warung itu dengan suara tinggi.”Pokoknya
harus bayar,” sambungnya lagi dan dengan tanpa disengaja jarinya menyentuh tangan
Lung Bisar, akibatnya uang logam Lung Bisar itu terjatuh kelantai dan berbunyi
tiiiiiiiing.
“Waduh, merdu sekali bunyinya Lung ?” Tanya pemilik warung
itu dengan raut muka kekaguman.
“Impas,” jawab Lung Bisar.
“Apanya yang impas ?”
“Saya menikmati aroma Belacan Bakar milik tuan, dan tuan
menikmati dentingan uang logam saya, impaslah jadinya.” Jawab Lung Bisar sambil
melenggang meninggalkan warung itu, tinggallah pemiliknya yang terdiam dalam kebingungan.
He he he
0 comments:
Post a Comment