Sambil mendendangkan lagu Dindung
Badindung, Ngah Leman mengharungi Sungai Rokan, menyeberang dari Suak Temonggung menuju Batu Enam untuk bertemu
dengan konco belangkinnya Lung Bisar.
Sambil mendayung sampan dia terus
berdendang, sesekali ditimpali dengan siulan kecil, meski keringatnya
bercucuran namun dia tetap mengayuh
menuju pantai tujuan.
Semilir angin yang bertiup
menambah semangat dan tenaganya dan dengan bersusah payah akhirnya tiba jualah
ia dirumah yang dituju, pondok kediaman Lung Bisar yang terletak ditengah
ladang yang membentang.
Kehadiran Ngah Leman disambut hangat
oleh Lung Bisar dengan segelas kopi tubruk sebagai pelepas dahaga.
Dan barangkali karena banyaknya
tenaga yang terkuras dan panas laut yang begitu menyiksa , segelas kopi itu tak
mampu menghapuskan dahaga Ngah Leman, walaupun sudah habis segelas diteguknya rasa haus masih saja tetap
bermain ditenggorokannya.
Mulutnya serasa berat untuk berterus
terang minta tambah segelas lagi, tapi dia merasa harus minum lebih banyak,
akhirnya dia carilah akal untuk minta tambuh.
“Dimana cangkir ini dibeli ?”
Tanya Ngah Leman sambil menunjukan gelas yang sudah kosong, sebagai
pertanda dia masih membutuhkan minuman.
“Dipajak jauh, harganya tiga belas
ribu, satu set dengan ini, jawab Lung Bisar pula sambil menunjukan tempat gula dan kopi
yang sudah kosong.
Ngah Leman terdiam, Lung Bisar juga
diam, dan diujung diam itu merekapun sama – sama tersenyum. Mengertilah Ngah
Leman bahwa sudah tidak ada lagi harapan
untuk bertambuh karena kopi dan gula sudah habis, lalu diapun pamitan pulang.
“Ternyata Lung Bisar sangat sulit
ditaklukkan, dia bukan hanya seorang pendekar ditengah gelanggang, tapi juga
mahir bersilat lidah,” desis Ngah Leman sambil melangkah meninggalkan Lung
Bisar dengan senyuman khasnya.
0 comments:
Post a Comment