Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Demokrasi dan TNI

Written By lungbisar.blogspot.com on Saturday, December 23, 2017 | 10:47 AM

Reformasi yang digulirkan pada Mei 1998, menjadi awal dari sebuah era baru dalam sejarah Indonesia yang sebelumnya dikungkung oleh rezim Orde Baru yang katanya otoriter. Sejak itu negeri ini melangkah kedepan memasuki gerbang kehidupan baru  yang disebut dengan istilah Era Reformasi.
Era ini dipandang sebagai awal kebangkitan demokrasi dengan system perpolitikan yang lebih terbuka dan liberal, kekuasan Negara diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sipil (civil society). Daerah diberikan kekuasaan (Otonom) yang lebih luas dan tidak lagi sepenuhnya diatur  oleh Pemerintah Pusat (desentralisasi).
Dwifungsi ABRI yang semula memberikan kesempatan kepada TNI untuk memainkan peran politik dan menduduki jabatan sipil ditiadakan dan sejak itu pula TNI dikembalikan kepada fungsinya semula sebagai pertahanan Negara, atau yang lebih dikenal dengan istilah Back to Basic (kembali kebarak).
Bergulirnya Reformasi diharapkan mampu menjawab tuntutan rakyat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa yakni mencapai masyarakat adil dan makmur. menjauhi prilaku korupsi dan berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.  Justeru itulah peran masyarakat sipil ditingkatkan dan Dwifungsi ABRI ditiadakan.
Setelah hampir dua puluh tahun berlalu, jabatan politik sepenuhnya sudah menjadi hak sipil, TNI sudah benar-benar kembali kebarak, meninggalkan kursi birokrasi, dan TNI bahkan rela tidak diikutsertakan dalam pemilu, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah pelaksanaan demokrasi yang dielu-elukan itu sudah berjalan sesuai dengan cita-cita reformasi ?
Kenyataannya kemudian yang terjadi adalah sebatas janji manis penghias bibir, ungkapan muluk saat kampanye, sisanya rakyat menyaksikan korupsi semakin parah. Setengah dari jumlah kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Puluhan anggota DPR dan sebagian anggota kabinet tersangkut kasus Korupsi, berbagai pimpinan birokrasi semakin korup, pungli merajalela, sehingga memunculkan istilah kalau dulu pejabat korupsi dibawah meja, kini dikorup sama mejanya sekalian.
Negeri ini seperti sudah kehilangan arah, ibarat  kapal yang terombang ambing dilaut, dipukul ombak badai tanpa pernah mencapai pelabuhan tujuan. Demokrasi yang kita dengungkan sebagai koreksi total terhadap pemerintahan Orba yang Otoriter tidak labih hanya sebuah slogan kosong tanpa isi. Kesejahteraan rakyat dan ketenteraman hidup semakin jauh dari harapan.
Partai Politik yang diharapkan menjadi Pilar Demokrasi ternyata lebih sibuk dengan urusannya sendiri, menyelesaikan masalah internal partai, dualisme kepemimpinan, hiruk pikuk dan cakar-cakaran sesama kader dan pengurus partai.
Ada Partai Politik yang hanya dikuasai oleh trah tertentu, yang pengurus terasnya terdiri dari ayah, anak, ipar dan keluarga dekatnya. Pendidikan kader partai hampir tak pernah kedengaran, sehingga yang maju dan berkuasa disebuah partai tertentu orangnya diseputar itu saja, kader karbitan yang masak dipaksa sesuai dengan kebutuhan sesaat.
Ternyata menyerahkan urusan politik sepenuhnya ketangan sipil bukanlah merupakan jaminan Demokrasi akan berjalan dengan baik, dan campur tangan TNI dalam kekuasaan Negara seperti masa lalu ternyata bukan pula hal yang buruk, dan inilah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh bangsa ini

Tulisan ini bukan bermaksud ingin mendorong TNI untuk kembali berpolitik, dan bahkan saya masih berharap agar itu tidak terjadi, tapi jika keadaan sudah memaksa, dan rakyat tidak bisa berharap lagi pada demokrasi, maka kehadiran tentara dalam politik kita menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.

0 comments: