Reformasi yang
digulirkan pada Mei 1998, menjadi awal dari sebuah era baru dalam sejarah
Indonesia yang sebelumnya dikungkung oleh rezim Orde Baru yang katanya otoriter.
Sejak itu negeri ini melangkah kedepan memasuki gerbang kehidupan baru yang disebut dengan istilah Era Reformasi.
Era ini dipandang
sebagai awal kebangkitan demokrasi dengan system perpolitikan yang lebih terbuka
dan liberal, kekuasan Negara diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sipil
(civil society). Daerah diberikan kekuasaan (Otonom) yang lebih luas dan tidak
lagi sepenuhnya diatur oleh Pemerintah
Pusat (desentralisasi).
Dwifungsi ABRI yang
semula memberikan kesempatan kepada TNI untuk memainkan peran politik dan
menduduki jabatan sipil ditiadakan dan sejak itu pula TNI dikembalikan kepada
fungsinya semula sebagai pertahanan Negara, atau yang lebih dikenal dengan
istilah Back to Basic (kembali kebarak).
Bergulirnya Reformasi diharapkan
mampu menjawab tuntutan rakyat sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa yakni
mencapai masyarakat adil dan makmur. menjauhi prilaku korupsi dan berupaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Justeru itulah peran masyarakat sipil ditingkatkan
dan Dwifungsi ABRI ditiadakan.
Setelah hampir dua
puluh tahun berlalu, jabatan politik sepenuhnya sudah menjadi hak sipil, TNI
sudah benar-benar kembali kebarak, meninggalkan kursi birokrasi, dan TNI bahkan
rela tidak diikutsertakan dalam pemilu, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah
pelaksanaan demokrasi yang dielu-elukan itu sudah berjalan sesuai dengan
cita-cita reformasi ?
Kenyataannya kemudian
yang terjadi adalah sebatas janji manis penghias bibir, ungkapan muluk saat
kampanye, sisanya rakyat menyaksikan korupsi semakin parah. Setengah dari
jumlah kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Puluhan anggota DPR dan
sebagian anggota kabinet tersangkut kasus Korupsi, berbagai pimpinan birokrasi
semakin korup, pungli merajalela, sehingga memunculkan istilah kalau dulu
pejabat korupsi dibawah meja, kini dikorup sama mejanya sekalian.
Negeri ini seperti
sudah kehilangan arah, ibarat kapal yang
terombang ambing dilaut, dipukul ombak badai tanpa pernah mencapai pelabuhan
tujuan. Demokrasi yang kita dengungkan sebagai koreksi total terhadap
pemerintahan Orba yang Otoriter tidak labih hanya sebuah slogan kosong tanpa
isi. Kesejahteraan rakyat dan ketenteraman hidup semakin jauh dari harapan.
Partai Politik yang
diharapkan menjadi Pilar Demokrasi ternyata lebih sibuk dengan urusannya
sendiri, menyelesaikan masalah internal partai, dualisme kepemimpinan, hiruk
pikuk dan cakar-cakaran sesama kader dan pengurus partai.
Ada Partai Politik yang
hanya dikuasai oleh trah tertentu, yang pengurus terasnya terdiri dari ayah,
anak, ipar dan keluarga dekatnya. Pendidikan kader partai hampir tak pernah kedengaran,
sehingga yang maju dan berkuasa disebuah partai tertentu orangnya diseputar itu
saja, kader karbitan yang masak dipaksa sesuai dengan kebutuhan sesaat.
Ternyata menyerahkan
urusan politik sepenuhnya ketangan sipil bukanlah merupakan jaminan Demokrasi
akan berjalan dengan baik, dan campur tangan TNI dalam kekuasaan Negara seperti
masa lalu ternyata bukan pula hal yang buruk, dan inilah kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri oleh bangsa ini
Tulisan ini bukan
bermaksud ingin mendorong TNI untuk kembali berpolitik, dan bahkan saya masih
berharap agar itu tidak terjadi, tapi jika keadaan sudah memaksa, dan rakyat
tidak bisa berharap lagi pada demokrasi, maka kehadiran tentara dalam politik
kita menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.
0 comments:
Post a Comment