Sekelompok pengemis
kota dibawah komando juragan Picum (diperankan oleh Budi Ros) tampil mengisi
panggung, dengan terampil dan mahir mereka melakoni bujuk rayu pada setiap
orang untuk menyisihkan uang recehannya. Itulah awal dari pementasan Opera Ikan
Asin yang dimainkan oleh Teater Koma pada awal Maret lalu di Artpreneur Theater
Jakarta, pementasan mana dimaksudkan sebagai perayaan hari ulang tahun Teater
Koma yang ke 40.
Opera Ikan Asin ini
berkisah tentang kedongkolan hati Picum terhadap Mat Piso (diperankan oleh
Rangga Riantiarno) si Raja Bandit yang telah mempersunting anak daranya bernama
Poli Picum (diperankan oleh Sekar Dewantari). Pernikahan puterinya dengan Mat
Piso dilaksanakan tanpa restu darinya, sehingga Picum merasa dendam, dan
berupaya untuk menyingkirkan Mat Piso.
Alkisah, atas bantuan
dari seorang wanita penghibur bernama Yeyen (diperankan oleh Cornelia Agatha)
akhirnya Mat Piso bisa ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung, namun ketika Mat
Piso sudah diseret ketiang gantungan yang terjadi bukanlah eksekusi hukuman
mati, tapi malah sebaliknya Mat Piso dilantik menjadi anggota Volksraad (wakil
rakyat).
Demikianlah penggalan
kisah yang dimainkan oleh kelompok Teater Koma, sebuah kelompok seni
Teater yang didirikan N Riantiarno pada 1 Maret 1977 silam. Teater yang kini
sudah berusia 40 tahun itu hingga kini masih tetap eksis dan menjadi kelompok
teater yang terbilang ramai dijubeli oleh penonton.
Naskah aslinya berjudul
The Beggar’s Opera,karya John Gay yang pernah dipentaskan dilondon sekitar
tahun 1728. Naskah The Beggar’s Opera itu kemudian diubahsuaikan oleh N
Riantiarno menjadi Opera Ikan Asin, sebuah kalimat pendek yang akrab ditelinga
publik dan menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari.
Cerita yang pada
mulanya mengisahkan kehidupan masyarakat dikota London pada abat ke 19, diubah
oleh Sutradaranya Teater Koma N Riantiarno menjadi kisah masyarakat Betawi pada
zaman pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun rentang waktunya jauh berbeda namun
sesungguhnya bila dicermati dengan seksama, lakon cerita ini masih terasa
relevan dengan kehidupan dinegeri kita pada saat ini, dimana seorang Bandit
yang berkongsi Ria dengan penegak hukum mampu mengubah keputusan hakim, Mat
Piso si Raja Bandit yang semestinya mati ditiang gantungan mendapat kehormatan
menjadi wakil rakyat.
Kelompok Teater Koma
memang tidak pernah berhenti berproduksi, dimulai sejak tahun 1977 dengan
mementaskan Lakon Rumah kertas di Teater tertutup Taman Ismail Marzuki, hingga
sekarang sudah tak terhitung lagi jumlah pementasan mereka, data akurat
tentang hitungan tampilan panggung mereka memang tidak ditemukan, namun tidak
diragukan lagi jumlahnya lebih dari 1.500 kali pementasan.
Selain naskah Opera
Ikan Asin dan Rumah Kertas, Teater Koma juga pernah memainkan lakon yang
berjudul Sampek Engtay, Opera Kecoa, Opera Ular Putih, Sie Jin Kwie, Maaf Maaf
Maaf,Inspektur Jenderal, Buriswara, Suksesi, Semar Gugat, Kala, Republik
Bagong, Republik Togog, Republik Cangik dan Republik Petruk.
Khusus untuk Naskah
Sampek Eng Tay, Teater Koma mendapat penghargaan MURI sebagai lakon yang pernah
dipentaskan secara berturut-turut selama 15 tahun (1988 – 2004) dengan delapan
pemain dan tujuh pemusik yang sama. Kemudian sepanjang rentang waktu dari tahun
1998 hingga tahun 2015, lakon Sampek Eng Tay, dibawa oleh Teater Koma
berkeliling ditujuh kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Batam dan
Medan dengan jumlah total pementasan sebanyak 103 kali.
Sepanjang sejarah
berdirinya Teater Koma, juga pernah mengalami masa kelam, pada tahun kedua
berdirinya ( 1978) pementasan naskah Maaf – Maaf – Maaf, dibatalkan oleh
penguasa rezim Orde Baru, kemudian pada tahun 1990 Teater Koma kembali dilarang
mementaskan lakon “Suksesi” dan yang sangat menyedihkannya lagi, ketika
kelompok teater ini akan mementaskan Opera Kecoa pihak berwenang membatalkannya
padahal saat itu tiket sudah ludes terjual.
Teater Koma memang
kenyang dengan pelarangan, dan tidak jarang usai pementasan sutradaranya
diintrerogasi dan diintimidasi, namun kesemuanya itu tidak membuat langkah
mereka berhenti disuatu titik, bak namanya yang memakai tanda baca “Koma”
, yang berarti jeda sejenak, kemudiantanpa merasa jera dia berproduksi
kembali.
Empat puluh tahun
hanyalah sebuah bilangan, tapi untuk ukuran sebuah Teater, rentang usia
sepanjang itu adalah sebuah bilangan yang luar biasa, Teater Koma masih tetap
eksis ditengah banyaknya kelompok teater lain yang tenggelam ditelan zaman.
0 comments:
Post a Comment