Ditengah kesibukan KPK
membongkar kasus Korupsi disekitar E-KTP, kembali pula muncul upaya DPR untuk
melemahkan lembaga anti rasuah itu dengan cara mengajukan usulan revisi atas
Undang-Undang KPK. Salah satu isi yang termaktub
dalam draft revisi yang kini gencar-gencarnya disosialisasikan dari kampus
kekampus itu adalah larang terhadap KPK melakukan penyadapan tanpa seijin
pengadilan. Hal inilah yang diyakini
oleh khalayak ramai merupakan akal-akalan anggota DPR untuk melemahkan KPK.
Usulan yang sama
sebenarnya bukanlah hal baru, tapi sudah muncul sejak lama dan kandas ditengah
jalan. Bulan Oktober 2010 muncul wacana dari komisi III DPR untuk melakukan revisi UU
KPK, wacana ini disikapi oleh pimpinan dewan dan kemudian pada Januari 2011
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengirim surat ke Komisi III untuk membuat
naskah akademik tentang revisi UU KPK, dan sejak itu rencana revisi UU KPK
masuk dalam program legislasi nasional untuk tahun 2011.
Setahun kemudian Naskah
Revisi UU KPK itupun rampung, isinya tentu saja dapat diduga berupa
langkah-langkah yang bersifat melemahkan KPK.
Dalam naskah tersebut dicantumkan , antara lain hilangnya kewenangan
penuntutan, izin penyadapan oleh ketua pengadilan, pembentukan dewan pengawas,
dan batas penanganan kasus korupsi oleh KPK harus di atas Rp 5 miliar.
Naskah yang semula
sudah dipersiapkan oleh Badan legislasi DPR itu ternyata batal dibahas, SBY
selaku Presiden waktu itu menyatakan belum siap untuk membahasnya. Diluar
gedung DPR terdengar pula teriakan berbagai pihak yang meminta DPR membatalkan
Revisi UU dimaksud, dan akhirnya naskah revisi benar-benar tidak jadi dibahas.
Berhentikah DPR ? tentu
saja tidak, semangat wakil rakyat untuk mempreteli kewenangan KPK tetap
menggebu-gebu, penolakan SBY tidak membuat anggota Dewan patah Arang. Setelah
pemerintahan berganti dan Jokowi terpilih menjadi presiden wacana itu mencuat
kembali dan masuk dalam prolegnas tahun 2015.
Naskah revisi kali ini
tidak hanya membatasi kewenangan KPK, tetapi malah muncul ide untuk membatasi
usia KPK hanya sampai 12 tahun, setelah itu KPK dengan sendirinya akan bubar.
Naskah revisi yang menmgerikan ini mendapat tantangan yang luar biasa dari
publik, akhirnya pada bulan Februari 2016 Presiden dan DPR sepakat untuk
menunda pembahasannya.
Kesepakatan antara
presiden dan pimpinan Dewan itu hanya menunda pembahasan, dan ketika Ade
Komarudin menjabat sebagai ketua DPR wacana itu hidup kembali, kali ini rencana
Revisi UU KPK itu bukan lagi usulan pemerintah, tetapi merupakan inisiatif DPR,
artinya Parlemen berupaya keras untuk merevisi UU KPK yang isinya membuat KPK
tidak berdaya.
Meskipun Revisi UU KPK
tidak masuk dalam prolegnas tahun 2017, namun Badan Keahlian DPR sibuk
melakukan sosialisasi tentang pentingnya Revisi UU KPK, dengan cara melakukan
seminar diberbagai kampus, seperti di Universitas Andalas, Padang, pada 9
Februari 2017, Universitas Nasional, Jakarta (28 Februari 2017), dan
Universitas Sumatera Utara (17 Maret 2017).
Ditengah kesibukan
sosialisasi Revisi UU KPK tersebut, DPR mendapat pukulan telak atas mecuatnya
kasus E KTP. Kasus ini melibatkan banyak nama dari Senayan, termasuk salah
satunya nama ketua DPR Setya Novanto, dalam kondisi seperti ini rasa tidak puas
DPR terhadap sepak terjang KPK tentu semakin menjadi-jadi.
Kegagalan DPR mengjukan
revisi UU KPK ingin dibayar oleh Fachri Hamzah dengan mengajukan hak angket,
tapi usulan Fachri itu tidak mendapat respon dari anggota Dewan yang lain,
bahkan menurut Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, menilai seharusnya langkah penegakan hukum tak perlu
dikaitkan dengan hak politik DPR. Menurutnya, KPK mestinya diberi keleluasaan
bekerja tanpa direpotkan oleh hak angket DPR.
0 comments:
Post a Comment