Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya
Powered by Blogger.

Visitors

Powered By Blogger

Featured Posts

Like us

ads1

Kemarahan Nahdliyin

Written By lungbisar.blogspot.com on Tuesday, February 28, 2017 | 12:50 PM

"PBNU dan nahdlyin lagi marah besar. Panas dan keras di dalam. Apalagi sikap ansor. (Ahok) jangan mempolitisir urusan hukum Kiai Ma'ruf mau ditelepon atau menelepon siapa pun adalah hak beliau," kata Wasekjen PKB Daniel Johan, sebagaimana yang dikutip oleh beberapa media.
Pernyataan tersebut muncul setelah melihat prilaku Ahok yang kasar terhadap Ketua Umum MUI dan sekaligus Rois Aam PBNU Makruf Amin dalam persidangan kasusnya yang ke 8  tanggal 31 Januari yang lalu.
Dalam persidangan itu Ahok menuding Makruf Amin menerima telepon dari SBY, yang isinya terkait dengan keputusan MUI soal penistaan Agama. Tudingan Ahok itu dibantah oleh Makruf dan akhirnya terjadilah perdebatan sengit dalam persidangan dimaksud. "Meralat tanggal 7 Oktober ketemu paslon nomor 1, jelas-jelas itu mau menutupi Saudara Saksi menutupi riwayat hidup pernah menjadi Wantimpres SBY. Tanggal 6 (Oktober) disampaikan pengacara saya ada bukti telepon (dari SBY) untuk minta dipertemukan. Untuk itu, Saudara Saksi tidak pantas menjadi saksi, tidak objektif lagi ini, sudah mengarah mendukung paslon 1," ujar Ahok saat menanggapi kesaksian Ma'ruf dalam persidangan tersebut.
Karena bantahan soal telepon SBY itu, Ahok mengaku berencana akan melaporkan Ma'ruf ke polisi "Saya berterima kasih Saudara ngotot di depan hakim meralat ini, mengaku tidak berbohong. Kami akan memproses secara hukum. Untuk bisa membuktikan bahwa kami punya data lengkap," sambung Ahok lagi. Menurut Ahok, apa yang disampaikannya dalam persidangan tersebut adalah sebuah proses yang ada dalam persidangan.
“Saya sebagai terdakwa sedang mencari kebenaran untuk kasus saya,” katanya dalam sebuah klarifikasi. Namun dia lupa bahwa pencarian kebenaran tidak harus bersikap angkuh dan berbicara kasar terhadap orang lain. Mencari kebenaran harus dengan cara yang benar pula,  bukan dengan cara memaksa orang mengaku apa yang tidak dilakukannya. Soal benar tidaknya Makruf menerima telpon dari SBY masih perlu dibuktikan, dan tidak perlu sesumbar menuding Makruf bersaksi bohong, karena yang berhak menilai kesaksian Makruf bukanlah Ahok tetapi merupakan kewenangan majelis Hakim.
Sikap Ahok tersebut memang terkesan lancang dan kasar, apalagi yang dihadapinya itu adalah seorang Ketua umum MUI dan sekalgus Rais Aam PBNU. Dia merupakan seorang kiyai sepuh yang dihormati dan menjadi panutan bagi kaum Nahdliyin, justeru itulah dia dipilih sebagao Rais Aam. Sebagai tokoh bangsa dan mantan anggota Wantimpres, dia bisa saja bergaul dan menerima telpon dari siapapun, termasuk dari mantan presiden. Dan itu tidak ada batasannya, karena undang-undang tidak melarang seorang Makruf menerima dan atau menelpon mantan presiden.
Soal isi pembicaraan telpon yang diduga berupa permintaan SBY masih perlu pembuktian lebih lanjut dan itupun tidak serta merta menjadi penyebab keluarnya keputusan MUI yang menyebabkan Ahok jadi tersangka. MUI adalah sebuah organisasi, kepengurusannya bersifat kolektif, keputusannya bukan atas keinginan Makruf Amin secara pribadi, tapi merupakan keputusan bersama yang didasari oleh berbagai pertimbangan. Jadi sangatlah tidak masuk akal jika keputusan MUI keluar atas permintaan dari seorang SBY. Itu tuduhan yang tak berdasar, fitnah yang sangat keji dan terkesan merendahkan martabat MUI sebagai majelis yang dihormati oleh ummat Islam.

Sikap Ahok terhadap Makruf yang sedemikian rupa inilah pemicu keluarnya pernyataan dari Sekjen PKB. Sebuah Partai yang  lahir dan dibesarkan oleh kaum Nahdliyin dengan tradisi menghormati kiyai sepuh. Justeru itu pula kiranya Kaum Nahdliyin dan Anshor pantas merasa marah dan tersinggung terhadap sikap AHOK.
12:50 PM | 0 comments | Read More

Zaskia dan Rizieq

Polisi telah menetapkan Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan lambang negara, Pancasila, dan pencemaran nama baik Presiden Indonesia pertama, Soekarno, Senin (30/1/2017).

Berita ini mengingatkan kita pada seorang penyanyi Dangdut yang bernama Zaskia Gotik, yang sempat terjerat dalam kasus Penistaan terhadap lambang Negara. Dalam sebuah Acara hiburan berbalut musik dan komedi yang ditayangkan oleh salah satu stasiun tivi swasta penyanyi Dangdut yang dikenal sebagai pemilik Goyang Itik itu mengatakan proklamasi kemerdekaan RI dilakukan setelah azan subuh pada 32 Agustus, dan lambang sila ke-5 dari Pancasila adalah bebek nungging.

Perbuatan Zaskia tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak, bahkan LSM Komunitas Pengawas Korupsi (KPK) berencana akan melaporkan Zaskia ke Polisi, tetapi akhirnya batal karena polisi terlebih dahulu sudah menentukan sikap untuk langsung menangani kasus tersebut tanpa menunggu laporan dari masyarakat.

Waktu itu, Kanit 1 Subdit Cybercrime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, yang dijabat oleh Komisaris Nico Setiawan, mengatakan, pihaknya mulai menangani itu setelah melakukan Patroli Cyber dan menonton tayangan Zaskia Gotik tersebut.

"Jadi kami melakukan pelaporan sendiri. Ini pelaporan model A dan polisi bisa menanganinya langsung tanpa laporan masyarakat," kata Nico kepada wartawan, di Polda Metro Jaya, Kamis (17/3/2016) pagi. Karena yang dilakukan oleh si Goyang Itik itu adalah tindakan penghinaan terhadap negara, maka Polisi boleh melakukan pelaporan sendiri, dan  Zaskia akan dijerat dengan Pasal 24 UU Nomor 24 tahun 2009 serta Pasal 158 KUHP. Meskipun proses hukum yang dilakukan polisi sudah sedemikian rupa, namun Zaskia bisa bernapas lega. Nasibnya tidak seburuk Riziek yang berujung jadi tersangka, tetapi malah mendapat kehormatan menjadi Duta Pancasila. Zaskia bisa melenggang bebas tanpa sanksi hukum sementara Rizieq harus mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hakim yang mengadilinya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengungkit-ungkit kisah lama dan mendorong polisi untuk membuka kembali proses hukum terhadap Zaskia, dan tidak pula bermaksud ingin membela Rizieq yang kini jadi tersangka, tetapi hanya sekedar ungkapan kegelisahan hati tentang makna kesetaraan hukum bagi tiap-tiap warga negara.

Kesetaraan hukum itu mewajibakan kita memperlakukan tiap-tiap warga negara sama hak dan kedudukannya didepan hukum, tidak pandang apakah dia seorang penyanyi Dangdut atau seorang Ulama. Dan kesetaraan hukum itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menegakkan hukum secara adil, bermartabat, dan berdaulat.
12:34 PM | 0 comments | Read More

Pelajaran Buat Fachri

Pemerintah dinilai tidak serius dalam menangani serbuan tenaga kerja asing asal China yang masuk ke Indonesia. Padahal kehadiran mereka telah mengambil porsi lapangan pekerjaan yang seharusnya diperuntukan bagi tenaga kerja lokal.
Serbuan tenaga kerja asing, terutama yang datang dari China ini memang sudah menjadi buah bibir, jumlahnya meningkat dari tahun ketahun, dan yang lebih tidak masuk akalnya lagi, ada sebagian mereka datang dengan visa kunjungan wisata dan tidak memiliki ijin kerja dinegeri ini.
Kerisauan atas masuknya tenaga kerja asing asal China inilah yang mendorong seorang Fachri Hamzah, menulis cuitan diakun twiternya yang berbunyi "Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela."
Saat menuliskan cuitannya, sang wakil ketua DPR RI itu mungkin sedang berteriak lantang kepada Pemerintah agar berpikir mengenai persoalan tenaga kerja asing yang menyerbu Indonesia. Namun karena dia kurang cermat memilih kata, maka akhirnya berbalik menjadi bumerang.
Adalah seorang M Hanif Dhakiri yang merespon dalam akun Twiternya "Saya anak babu, ibu saya bekerja menjadi TKI secara terhormat, tidak mengemis, tidak sakiti orang, tidak curi uang rakyat. Saya bangga pada ibu #MaafkanFahriBu,"
Istilah BABU dan MENGEMIS itu, membuat M Hanif Dhakiri merasa dilecehkan, karena sekedar untuk diketahui Hanif yang kini menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja pernah ditinggal ibunya menjadi TKI selama 6 tahun.
Tidak hanya Hanif yang merasa keberatan, 55 Organisasi Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang tergabung dalam Lingkaran Aku Cinta Indonesia (LACI), mempersoalkan ungkapan Fachri tersebut. Ketua LACI Nur Halimah mengatakan cuitan Fahri tersebut merendahkan martabat pekerja Indonesia di luar negeri.
"Tahukah Bapak bahwa kami ini pekerja bukan babu. Kami mempunyai harkat dan martabat. Kami melakukan pekerjaan yang halal dengan setiap tetesan keringat kami, bukan hasil korupsi apalagi hasil mengemis! Perjuangan yang kami lakukan di sini telah memberikan penghidupan yang lebih layak bagi keluarga kami di kampung halaman, serta memberikan anak kami pendidikan dan jaminan kesehatan yang lebih baik," kata  Halimah melalui keterangan tertulis yang dimuat oleh detikcom, Selasa (24/1).
Kekurangcermatan Fachri dalam memilih kata ini  telah membuat kegaduhan tersendiri, maksud hati mungkin ingin menggugah hati banyak orang untuk bangkit memikirkan nasib tenaga kerja lokal, tapi karena diungkapkan dengan kata yang tidak tepat akhirnya menuai protes dari berbagai pihak.
Persoalannya kini bukan lagi masalah lapangan kerja yang diserobot oleh tenaga kerja asing, tapi beralih menjadi penistaan dengan istilah Babu dan Pengemis.

Barangkali inilah pelajaran berharga buat Fachri, bahwa sebuah gagasan yang baik juga harus diungkapkan dengan kata – kata yang baik 
12:22 PM | 0 comments | Read More

Sanggar Flamboyan

Written By lungbisar.blogspot.com on Friday, February 10, 2017 | 11:50 PM

Mentari sudah hampir jatuh diufuk Barat, langit memerah dan awan berarak manja mengiringi mentari merampungkan tugasnya menutup hari. Wajah senja kian teduh dan redup, sementara angin bertiup perlahan menyisir dedaunan yang kering dan berdebu.

Aku masih saja berdiri disitu, sambil menatap alam sekeliling, mengingat-ingat kembali pada teman-teman sebaya,  yang dulu pernah ada dan menjadi bagian dari perjalan hidupku. Kursi panjang dari kayu tempat kami duduk bersama, bersenda gurau dan bercengkerama,  bergitar ria dengan senandung lagu-lagu Koesplus, The Mercys, Panbers, dan lagu-lagu populer masa itu, melewati waktu malam yang lengang dan gulita, diteras rumah tua yang kami sebut sebagai Sanggar Flamboyant.

Kenangan itu terus bermain dalam ingatan ku, hayalanku surut jauh kemasa silam, masa masih kekanak dulu, bermain bola dihalaman berlumpur, mandi disungai yang airnya keruh seperti susu, main layang-layang dengan mata tersisik kelangit, main gasing dihalaman rumah Bahasan, main Patuk Lele, menangguk Ikan Lago dengan tudung saji.

Senja kian larut, wajahnya semakin redup, angin seakan berhenti berhembus, dan sayup-sayup terdengar suara azan dari Masjid Taqwa mengalun lantang. Kusimak baik-baik, kukerahkan segala kekuatanku untuk mengingat-ingat suara Muadzinnya, tapi “Ah, bukan ...... itu bukan suara Wak Seri,” desisku dalam hati.

Waktu sudah berlalu, berjalan jauh meninggalkan masa silam, menghapus jejak kenangan yang tak sempat tercatat.  Halaman rumah Tuk Bahasan yang dulu kami jadikan arena bermain Gasing kini sudah menyempit. Tak ada lagi anak-anak yang bersuka ria dengan derai tawa, melihat Gasing beradu putar, yang ada hanyalah wajah-wajah belia dengan gadget ditangannya.

Teras rumah yang kami jadikan sanggar kini telah berubah, pemiliknya sudah ganti berganti, tak ada lagi tempat bergitar, tak terdengar lagi riuh rendah suara tawa dan canda, yang ada hanyalah bunyi deringan smartphone dari sakunya.

Suasana senja yang dulu diramaikan dengan kekanak yang berbondong menuju Masjid kini sudah tak ada, sebagian memang masih terlihat datang memenuhi panggilan azan, namun sebagiannya lagi asyik masuk menyaksikan sinetron didepan tivi.


Teman-teman sepermainan dulu kini entah dimana, semuanya telah pergi membawa diri dan takdirnya meninggalkan tempat ini, yang tersisa hanyalah ukiran kenangan masa lalu yang tak mungkin dapat diulang kembali. 
11:50 PM | 0 comments | Read More