(karena hari sudah hampir maghrib Lung Bisar dan kawan-kawannya bubar
dan beranjak pulang kerumahnya masing-masing, beberapa diantara mereka berpikir
sambil didalam hatinya mengulangi kata-kata “Na’uzubillah.”)
Pulang
dari melaut, Lung Bisar mampir diwarung kopi Pak Bual, warung yang menjadi tempat
nongkrong para pembual dinegeri itu. Ditempat ini, mereka berbincang sekenanya,
tanpa topik yang jelas tanpa agenda yang diatur, mereka menyebutnya dengan istilah Bincang Lepas, maksudnya berbincang
santai sambil melepas lelah.
Berbagai
hal mereka perbincangkan disore itu, dimulai dari cerita masa lalu tentang Budul
yang merampok diperairan Sungai Rokan sampai kepada para koruptor yang
ditangkap KPK. Kemudian dilanjut dengan kisah
gigi palsu Pak Guru yang copot waktu memberikan pelajaran di Sekolah, hingga
sampai kisah pejabat yang dicopot gara-gara diduga menggunakan ijazah palsu.
Cerita
merekapun berlanjut tentang nonton di Bioskop Ria, bioskop yang dulu menjadi kebanggan
negeri itu kini sudah tinggal kenangan, tak ada yang dapat dilihat lagi,
bioskop sudah jadi abu dilalap api. Kini dusun mereka dipenuhi gedung-gedung berkubah,
menjulang tinggi kelangit, setinggi lenggang
para pejabat negeri yang hedonis dengan jubah kebesarannya sementara kesejahteraan
anak negeri tinggal abadi dalam angan-angan.
Makin
sore hari semakin asik mereka berbual, dan sampailah topik perbincangan mereka kepada
pembangunan jembatan Pedamaran yang membelah Sungai Rokan, merangkai negeri
sampai ke Tanah Pekaitan. Lalu perbincangan mereka merambat ke Jembatan Siak
III yang berlokasi di Rumbai Pekanbaru. Jembatan yang cukup dua tahun digunakan
itu kini ditutup karena kondisinya yang tak jelas dan bisa membahayakan
keselamatan warga.
Pembangunan
Jembatan yang dibiayai dengan uang rakyat itu diduga penuh misteri, tidak jelas
siapa yang salah, apakah pelaksananya atau pejabat yang mengawasi
pembangunannya, masing-masing pihak berlepas tangan dan saling melempar
tudingan, tapi tak pernah ada penyelsaian siapa yang harus bertanggung jawab.
Jembatan itu ditutup karena besi penyangga lantainya itu melengkung seperti mau
patah.
Jembatan
yang diberi nama Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, raja ke 5 dari
kerajaan Siak, maksudnya ingin memberi penghargaan kepada sang Raja yang telah
bersusah payah berbakti membuka hutan belantara menjadi sebuah kota yang
kemudian diberi nama Pekanbaru.
“Tapi
sayangnya jembatan itu tak segagah nama dan gelar yang disandangnya,” celetuk
Cu Busu ditengah perbincangan mereka.
“Nah
itu dia,” sambung Lung Bisar pula.“ Dulukan setiap petinggi negeri ini diberi
gelar oleh Lembaga Adat, seperti Imam Munandar bergelar Datuk Sri Lelawangsa, Rusli
Zainal dengan gelar Datuk Setia Amanah, kemudian Wali kota Pekanbaru Herman
Abdullah bergelar Datuk Bandar,” lanjut Lung Bisar lagi sambil menyeruput kopi
pahit hidangan Pak Bual.
“Kebetulan
pemangku negeri yang sekarang ini belum diberi gelar oleh lembaga adat, padahal
semestinya sudah ada pemikiran kearah itu, bagaimanapun dia adalah putera
terbaik yang bertuah mendapat kepercayaan dari rakyat untuk memimpin negeri
ini, segeralah kita usulkan agar beliau diberi gelar.” Kata rekan mereka yang
lain pula
“Saya
usulkan beliau diberi gelarnya Tameng Sari.”
“Itu
nama Keris Hang Tuah Cu,” sergah Lung Bisar
“Syarif Hidayatullah,” sambung yang lainnya
“Gelar
itu sudah dipakai untuk Universitas negeri di jakarta.”Jawab Lung Bisar
“Panglima
Ali Muhtadibillah,”
“Oooooo
, tak bisa Cu, itu mirip dengan gelar Pangeran Brunai Darussalam.”
“Al
mari meja kursi,”
“Jangan
bercanda,” potong Cu Busu sambil melototkan matanya pada Duan Gintil yang
tiba-tiba iseng mengusulkan nama bergaya Arab, suasanapun hening sejenak, Lung
Bisar memutar otaknya mencari gelar yang cocok untuk paduka.
“Na’uzubillahi
Min Zaliq, itu gelar yang saya usulkan,”
tiba-tiba terdengar suara Tuan Bachtiar dari celah jendela, ternyata
perbincangan mereka soal gelar paduka diraja yang dipertuan negeri itu sudah sejak
tadi diikuti oleh Tuan Bachtiar, dan ketika Bincang Lepas itu buntu mendapatkan
kata yang cocok, maka diapun ikut nimbrung.
Tidak
ada yang tau, apakah usulan itu diterima atau ditolak, namun karena hari sudah hampir maghrib Lung Bisar
dan kawan-kawannya bubar dan beranjak pulang kerumahnya masing-masing, beberapa
diantara mereka berpikir sambil didalam hatinya mengulangi kata-kata “Na’uzubillah.”
0 comments:
Post a Comment