Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Na'uzubillah

Written By lungbisar.blogspot.com on Monday, August 11, 2014 | 11:55 PM

(karena hari sudah hampir maghrib Lung Bisar dan kawan-kawannya bubar dan beranjak pulang kerumahnya masing-masing, beberapa diantara mereka berpikir sambil didalam hatinya mengulangi kata-kata “Na’uzubillah.”)

Pulang dari melaut, Lung Bisar mampir diwarung kopi Pak Bual, warung yang menjadi tempat nongkrong para pembual dinegeri itu. Ditempat ini, mereka berbincang sekenanya, tanpa topik yang jelas tanpa agenda yang diatur, mereka menyebutnya dengan  istilah Bincang Lepas, maksudnya berbincang santai sambil melepas lelah.
Berbagai hal mereka perbincangkan disore itu, dimulai dari cerita masa lalu tentang Budul yang merampok diperairan Sungai Rokan sampai kepada para koruptor yang ditangkap  KPK. Kemudian dilanjut dengan kisah gigi palsu Pak Guru yang copot waktu memberikan pelajaran di Sekolah, hingga sampai kisah pejabat yang dicopot gara-gara diduga menggunakan ijazah palsu.
Cerita merekapun berlanjut tentang nonton di Bioskop Ria, bioskop yang dulu menjadi kebanggan negeri itu kini sudah tinggal kenangan, tak ada yang dapat dilihat lagi, bioskop sudah jadi abu dilalap api. Kini dusun mereka dipenuhi gedung-gedung berkubah, menjulang tinggi kelangit,  setinggi lenggang para pejabat negeri yang hedonis dengan jubah kebesarannya sementara kesejahteraan anak negeri tinggal abadi dalam angan-angan.
Makin sore hari semakin asik mereka berbual, dan sampailah topik perbincangan mereka kepada pembangunan jembatan Pedamaran yang membelah Sungai Rokan, merangkai negeri sampai ke Tanah Pekaitan. Lalu perbincangan mereka merambat ke Jembatan Siak III yang berlokasi di Rumbai Pekanbaru. Jembatan yang cukup dua tahun digunakan itu kini ditutup karena kondisinya yang tak jelas dan bisa membahayakan keselamatan warga.
Pembangunan Jembatan yang dibiayai dengan uang rakyat itu diduga penuh misteri, tidak jelas siapa yang salah, apakah pelaksananya atau pejabat yang mengawasi pembangunannya, masing-masing pihak berlepas tangan dan saling melempar tudingan, tapi tak pernah ada penyelsaian siapa yang harus bertanggung jawab. Jembatan itu ditutup karena besi penyangga lantainya itu melengkung seperti mau patah.
Jembatan yang diberi nama Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, raja ke 5 dari kerajaan Siak, maksudnya ingin memberi penghargaan kepada sang Raja yang telah bersusah payah berbakti membuka hutan belantara menjadi sebuah kota yang kemudian diberi nama Pekanbaru.
“Tapi sayangnya jembatan itu tak segagah nama dan gelar yang disandangnya,” celetuk Cu Busu ditengah perbincangan mereka.
“Nah itu dia,” sambung Lung Bisar pula.“ Dulukan setiap petinggi negeri ini diberi gelar oleh Lembaga Adat, seperti Imam Munandar bergelar Datuk Sri Lelawangsa, Rusli Zainal dengan gelar Datuk Setia Amanah, kemudian Wali kota Pekanbaru Herman Abdullah bergelar Datuk Bandar,” lanjut Lung Bisar lagi sambil menyeruput kopi pahit hidangan Pak Bual.
“Kebetulan pemangku negeri yang sekarang ini belum diberi gelar oleh lembaga adat, padahal semestinya sudah ada pemikiran kearah itu, bagaimanapun dia adalah putera terbaik yang bertuah mendapat kepercayaan dari rakyat untuk memimpin negeri ini, segeralah kita usulkan agar beliau diberi gelar.” Kata rekan mereka yang lain pula

“Saya usulkan beliau diberi gelarnya Tameng Sari.”
“Itu nama Keris Hang Tuah Cu,” sergah Lung Bisar
 “Syarif Hidayatullah,” sambung yang lainnya
“Gelar itu sudah dipakai untuk Universitas negeri di jakarta.”Jawab Lung Bisar
“Panglima Ali Muhtadibillah,”
“Oooooo , tak bisa Cu, itu mirip dengan gelar Pangeran Brunai Darussalam.”
“Al mari meja kursi,”
“Jangan bercanda,” potong Cu Busu sambil melototkan matanya pada Duan Gintil yang tiba-tiba iseng mengusulkan nama bergaya Arab, suasanapun hening sejenak, Lung Bisar memutar otaknya mencari gelar yang cocok untuk paduka.
“Na’uzubillahi Min Zaliq, itu gelar yang saya usulkan,”  tiba-tiba terdengar suara Tuan Bachtiar dari celah jendela, ternyata perbincangan mereka soal gelar paduka diraja yang dipertuan negeri itu sudah sejak tadi diikuti oleh Tuan Bachtiar, dan ketika Bincang Lepas itu buntu mendapatkan kata yang cocok, maka diapun ikut nimbrung.
Tidak ada yang tau, apakah usulan itu diterima atau ditolak, namun  karena hari sudah hampir maghrib Lung Bisar dan kawan-kawannya bubar dan beranjak pulang kerumahnya masing-masing, beberapa diantara mereka berpikir sambil didalam hatinya mengulangi kata-kata “Na’uzubillah.” 

0 comments: