Rupiah masih lemah,
terkulai layu bagaikan bayi yang menderita gizi buruk, sementara para pengambil
kebijakan dinegeri ini tetap saja percaya diri, tampil didepan publik mengumbar
senyum sambil berujar agar publik tidak terlalu merisaukannya.
Orang yang bisa
tersenyum dan menyambut bahagia atas naiknya nilai dolar ini tentulah mereka
yang memiliki simpanan dolar atau mereka yang menerima penghasilan dalam bentuk
dolar. Sementara orang yang berpenghasilan pas-pasan (dalam nilai rupiah)
mungkin akan tersenyum kecut, merasa frustasi karena tidak tau lagi apa yang
harus dilakukan.
Bagi sebagian orang,
jatuhnya nilai rupiah merupakan berkah, mereka ini sebagian besar adalah
pengusaha kakap yang hasil produksinya diekspor keluar negeri, sementara bagi
peternak unggas dan industri Tahu Tempe akan meleleh keringat dikepalanya.
Pengusaha kakap akan
meraup keuntungan dari terpuruknya nilai tukar rupiah, biaya produksi mereka
tetap karena berbahan baku yang dibeli dengan rupiah sementara hasil hasil
produksinya dibayar dalam dolar. Selisih kurs dolar terhadap rupiah itu menjadi
bonus bagi kegiatan usaha mereka.
Sebaliknya bagi
peternak Ayam potong dan Ayam petelor, akan mengalami kesulitan yang sangat
berarti, kewalahan menghadapi musibah rupiah yang jatuh nilai tukarnya. Hasil
produksi dilepas kepasar ditengah suasana melemahnya daya beli masyarakat,
sementara pakan ternak dan obat-obatan harus dibeli dengan dolar. Demikian juga
dengan nasib pembuat Tahu dan Tempe, pengrajin isi perut pengganjal lapar
mayarakat kelas bawah ini akan terseok-seok.
Melonjaknya nilai dolar
akan berdampak pada naiknya harga Kedele yang sampai hari ini masih dipasok
dari luar negeri. Jadi, melemahnya nilai tukar rupiah melahirkan dua sisi
kehidupan yang bertolak belakang, pengusaha kakap akan tersenyum riang
sementara peternak dan produsen Tahu Tempe akan tersenyum kecut. Jadilah rakyat
kecil yang menanggung goncangan ekonomi bangsa ini.
“Yang kaya makin kaya,
yang miskin semakin melarat” mirip dengan lagu yang didendangkan Rhoma
Irama. Apakah pemerintah akan terus membiarkan kondisi rupiah tetap seperti
pasien rumah yang kehabisan obat, atau akan ada kebijakan seperti yang pernah
dilakukan Soeharto dimasa Orba dulu dengan menerapkan TMP ( Tigh Monetary
Policy) atau yang lebih dikenal dengan istilah pengetatan ikat pinggang.
Menerapkan kebijakan
ekonomi ketat seperti dulu bisa berdampak pada turunya hasil produksi,
mesin-mesin pabrik akan berkurang geraknya, PHK pun tak akan terhindari,
pengangguran makin bertambah yang pada gilirannya akan menambah berat beban
sosial. Sekali lagi kebijakan itu akan berdampak buruk pada rakyat kecil.
Kita tidak tau seperti
apa langkah kongkrit yang akan diambil oleh tim ekonomi kabinet Jokowi sekarang
ini, sementara presiden sendiri sibuk pula dengan berbagai urusan lain seperti
isu penyadapan, gonjang ganjing politik dan hukum yang entah sampai kapan bisa
selesainya, justeru itulah mungkin terlihat para menteri bidang ekonomi selalu
tampil dengan senyum, entah senyum optimis entah senyum karena frutasi, hanya TUHAN
lah yang tau.
0 comments:
Post a Comment