Ketika hendak beranjak
tidur, berderinglah telpon gengamku, lalu dengan berat hati panggilan dimalam
buta itu kuterima dengan tidak memperhatikan
nama sang penelpon.
“Haloooo,” katanya
memulai pembicaraan, terdengar suara diujung telpon itu agak serak, belum
sempat kujawab salamnya dia melanjutkan kata-katanya lagi.
“Apa kabar ?” tanyanya, tapi lagi-lagi dia tak memberi
kesempatan padaku untuk menjawab dia terus berceloteh. “Kabar baik atau kabar
buruk,” sambungnya lagi.
“Kabar baik, sebaliknya
ki sanak disana apa kabarnya,” kataku balas bertanya.
Pertanyaan ku yang
sebegitu singkatnya dia jawab dengan keluh kesah yang panjang lebar, dia ceritakan
tentang usahanya yang gagal meraih kursi DPRD dikampung kami. Dia muntahkan
segala isi hatinya, seolah-olah malam itu merupakan kesempatan terakhir baginya untuk mencurahkan kekesalannya.
“Sabar ki sanak,
sabar,” kataku dengan maksud untuk menghentikan pembicaraan. “Sekarang sudah
larut malam, besok saja kita sambung ceritanya.”
“Iya, ya ......, saya
tau ini waktunya kamu untuk tidur, tapi tolonglah dengarkan curahan hatiku ini,” katanya dan setelah itu dia lanjutkan
kembali ceritanya, mulai dari persiapan untuk mendaftarkan diri sebagai caleg
hingga sampailah pada hari pemungutan suara.
Selama berbulan – bulan
dia kasak kusuk kesana kemari, menebar senyum kesetiap warga, memberi santunan
ketika ada yang membutuhkan, melakukan blusukan ala Jokowi. Masuk kampung
keluar kampung menawarkan konsep perbaikan kebijakan pemerintahan daerah agar
nasib rakyat kedepannya menjadi lebih baik.
Dia persiapkan
orang-orang yang bisa dipercaya dan berkwalitas untuk menjadi saksi di TPS, dia
sediakan makan siang dan honor sekedarnya untuk para saksi yang bekerja. Pada
hari “H” itu dialah satu-satunya caleg
yang paling sibuk, memantau pelaksanaan pemungutan suara dihampir setiap TPS
dalam daerah pemilihannya. Malamnya diapun terkapar dikasur, tidur pulas
kelelahan dan esok paginya dia mendapat kabar bahwa hasil perolehan suaranya
jauh dibawah rata-rata caleg yang lain.
Mendadak rasa kecewa
muncul dalam rongga dadanya, serasa penuh sesak seketika oleh kabar yang tak
sedap itu, perasaannya jadi tak menentu,
mau marah tapi tak tau kepada
siapa mau ditumpahkan kemarahannya itu, mau makan tak terasa lapar dan mau
tidur tak punya rasa kantuk, akhirnya dia ambil telpon genggam lalu berusaha
menghubungi aku.
Ditengah asiknya dia
bercerita terdengar kokok ayam, pertanda subuh menjelang tiba, lalu ku katakan padanya bahwa yang dilakukannya selama ini
adalah sebuah kekeliruan.
“Kalau mau jadi caleg
yang sukses bukan begitu caranya,” kataku dengan nada yang sedikit
mengguruinya.
“Bagaimana ? Potongnya
dengan nada tak sabar.
“Contoh kawan kita Lung
Bisar, dia siapkan sekarung uang tukaran
seratus ribu, lalu pada malam sebelum pemilu menjelang subuh tim suksesnya
bekerja membagi-bagikan uang itu kepada pemilih.” Jawabku dengan tenang.
“Oh ya,” sambungnya dengan
nada kaget. “Mantaplah tu, Lung Bisar pasti sudah pasti dapat kursi, tenteram jiwanya sekarang
ya,” sambungnya lagi.
“Tidak,” jawabku dengan
singkat dan tegas.
“Lho, kanapa ? Dimana Lung
Bisar sekarang ?” Tanyanya dengan nada tak sabar.
“Dia sekarang terkulai
layu di Rumah Sakit Jiwa,” jawabku sambil menutup pembicaraan, dan dari
kejauhan sayup-sayup terdengar suara Bilal mengumandangkan azan, memanggil kaum
kerabat untuk menunaikan sholat subuh. Semalam suntuk waktuku habis terbuang
percuma disapu angin lalu.
0 comments:
Post a Comment