Disuatu pagi di Bagansiapi-api. aku melangkah dengan pasti menuju sebuah warung kopi. Mencari teman lama untuk diajak bercanda dan bergurau sambil berdiskusi. Aku ingin menikmati hangatny kopi dan suasana hangat puluhan tahun yang silam, bual para pengopi yang menghangat, suasana pertemanan dan keakraban pagi yang tetap terpelihara, hatiku menjadi berbunga-bunga disela salaman dari banyak teman dan orang yang dulu kukenal, dan aku betul-betul gembira dibuatnya
Makin meninggi hari kian ramai
pengunjungnya, makin semarak pula bual rekan yang berkumpul, meja mulai
digabung satu, dua, tiga menjadi rangkaian panjang hingga suasananya
berubah menjadi sebuah reuni kerabat lama. Topik pembicaraanpun makin seru, bercampur
baur antara kisah masa lalu dengan kekinian yang katanya sudah jauh lebih maju,
hingga sampailah kami pada satu topik hangat yakni soal Pemilukada.
Aku berharap topik ini menjadi
pemuncak dari bualan kami dipagi itu, karena Pemilukada adalah ajang kompetisi
dari beberapa calon pemimpin rakyat. Harapanku pagi itu sederhana saja, ingin
tau seperti apa kondisi yang sebenarnya, bagaimana sikap warga kota ini
terhadap para tokoh terbaik yang mencalonkan diri itu. Akupun ingin mendapat
gambaran seperti apa pemimpin yang mereka inginkan, dan apa harapan masyarakat
terhadap pemimpinnya kedepan. Tapi apa mau dikata aku harus menelan pil
pahit, karena topik ini ternyata tidak menarik minat teman – teman untuk
didiskusikan, satu persatu mereka beranjak dari tempat duduknya, berbagai
alasan mereka kemukakan dan akhirnya tinggal aku dan Bahtiar Les, sambil
bertatap-tatapan melihat Mak Iyah siempunya warung mengemas piring dan gelas
bekas makan minum kami.
Bahtiar seakan mengerti dengan
perasaanku yang diselimuti kekecewaan, sebelum pamit dia membisikan sesuatu
ditelingaku, aku terdiam dan sejenak mengangguk pelan dengan ketidak
mengertianku tentang apa yang diucapkannya, Bahtiar juga mengangguk dan sejenak
kemudian dia berlalu dari sisiku.
Sekali lagi aku kebingungan
sendirian dikamar losmen, sudah banyak perubahan disini, waktu magrib orang tak
lagi bersiap-siap kesurau, waktu malam tak terdengar lagi suara ibu-ibu
mendongeng atau menyanyikan anaknya menjelang tidur, kecuali suara bising
burung Walet dari rumah penangkaran. Topik bualan pagi juga tak sebebas dulu
lagi, banyak teman yang menghindar jika bualan sudah menjurus kearah politik,
apalagi bicara soal calon yang berani menantang incumbent, bisa tak naik
pangkat seumur hidup, atau mutasi ketempat kering dan sulit, “waduh begitu
mencekamnya suasana ini.” Ujarku sambil membalikan tubuh kedinding.
Ketika melihat dinding kamar aku
teringat pada ucapan Bahtiar yang dibisikannya tadi, ”Disini dinding
bertelinga,” katanya sambil berlalu.
Bahtiar sudah pergi jauh, entah
mengayunkan langkah entah mengayuh kehidupan, tapi yang jelas dia meninggalkan
aku dengan sebuah peringatan bahwa “Dinding bertelinga”, itu maknanya bahwa
saat ini menjadi tabu bicara soal politik, makanya banyak teman yang menghindar
takut direkam oleh dinding dan sampai ketelinga tuan,
“Makanya As, kata Bahtiar dengan
serius, “disini tak ada lagi Hang Jebat yang berani berkata Raja Alim Raja
Disembah, Raja Zolim Raja dibantah, tak ada lagi orang bijak yang berani
memberi tunjuk ajar, tak ada lagi orang tua yang berani dituakan, yang ada
hanyalah Patih Kermawijaya, sipenjilat dengan lidahnya yang bercabang menjadi
tukang fitnah”, lanjut Bahtiar lagi.
“Lalu …….?
“Tidak ada yang lalu, kecuali
titah Baginda”
“Hang Tuah dimana ? Tanyaku
“Kau cari sendirilah dibalik
cerita-cerita legenda yang terserak diberbagai tempat diluar kota ini, disini
sudah tak ada lagi bijak laksamana, tak ada lagi Tuah, yang ada hanyalah burung
Beo milik Baginda
0 comments:
Post a Comment