Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Burung Beo Baginda

Written By lungbisar.blogspot.com on Friday, August 16, 2024 | 10:56 PM

Disuatu pagi di Bagansiapi-api. aku melangkah dengan pasti menuju sebuah warung kopi. Mencari teman lama untuk diajak bercanda dan bergurau sambil berdiskusi. Aku ingin  menikmati hangatny kopi dan  suasana hangat puluhan tahun yang  silam, bual para pengopi yang menghangat,  suasana pertemanan dan keakraban pagi yang tetap terpelihara, hatiku menjadi berbunga-bunga disela salaman dari  banyak teman dan orang yang dulu kukenal, dan aku betul-betul gembira dibuatnya

Makin meninggi hari kian ramai pengunjungnya, makin semarak pula bual rekan yang berkumpul, meja mulai digabung satu, dua, tiga  menjadi rangkaian panjang hingga suasananya berubah menjadi sebuah reuni kerabat lama. Topik pembicaraanpun makin seru, bercampur baur antara kisah masa lalu dengan kekinian yang katanya sudah jauh lebih maju, hingga sampailah kami pada satu topik hangat yakni soal Pemilukada.

Aku berharap topik ini menjadi pemuncak dari bualan kami dipagi itu, karena Pemilukada adalah ajang kompetisi dari beberapa calon pemimpin rakyat. Harapanku pagi itu sederhana saja, ingin tau seperti apa kondisi yang sebenarnya, bagaimana sikap warga kota ini terhadap para tokoh terbaik yang mencalonkan diri itu. Akupun ingin mendapat gambaran seperti apa pemimpin yang mereka inginkan, dan apa harapan masyarakat terhadap pemimpinnya kedepan.  Tapi apa mau dikata aku harus menelan pil pahit, karena topik ini ternyata tidak menarik minat teman – teman untuk didiskusikan, satu persatu  mereka beranjak dari tempat duduknya, berbagai alasan mereka kemukakan dan akhirnya tinggal aku dan Bahtiar Les, sambil bertatap-tatapan melihat Mak Iyah siempunya warung mengemas piring dan gelas bekas makan minum kami.

Bahtiar seakan mengerti dengan perasaanku yang diselimuti kekecewaan, sebelum pamit dia membisikan sesuatu ditelingaku, aku terdiam dan sejenak mengangguk pelan dengan ketidak mengertianku tentang apa yang diucapkannya, Bahtiar juga mengangguk dan sejenak kemudian dia berlalu dari sisiku.

Sekali lagi aku kebingungan sendirian dikamar losmen, sudah banyak perubahan disini, waktu magrib orang tak lagi bersiap-siap kesurau, waktu  malam tak terdengar lagi suara ibu-ibu mendongeng atau menyanyikan anaknya menjelang tidur, kecuali suara bising burung Walet dari rumah penangkaran. Topik bualan pagi juga tak sebebas dulu lagi, banyak teman yang menghindar jika bualan sudah menjurus kearah politik, apalagi bicara soal calon yang berani menantang incumbent, bisa tak naik pangkat seumur hidup, atau mutasi ketempat kering dan sulit, “waduh begitu mencekamnya suasana ini.” Ujarku sambil membalikan tubuh kedinding.

Ketika melihat dinding kamar aku teringat pada ucapan Bahtiar yang dibisikannya tadi,  ”Disini dinding bertelinga,”  katanya sambil berlalu.

Bahtiar sudah pergi jauh, entah mengayunkan langkah entah mengayuh kehidupan, tapi yang jelas dia meninggalkan aku dengan sebuah peringatan bahwa “Dinding bertelinga”, itu maknanya bahwa saat ini menjadi tabu bicara soal politik, makanya banyak teman yang menghindar takut direkam oleh dinding dan sampai ketelinga tuan,

“Makanya As, kata Bahtiar dengan serius, “disini tak ada lagi Hang Jebat yang berani berkata Raja Alim Raja Disembah, Raja Zolim Raja dibantah, tak ada lagi orang bijak yang berani memberi tunjuk ajar, tak ada lagi orang tua yang berani dituakan, yang ada hanyalah Patih Kermawijaya, sipenjilat dengan lidahnya yang bercabang menjadi tukang fitnah”, lanjut Bahtiar lagi.

“Lalu …….?

“Tidak ada yang lalu, kecuali titah Baginda”

“Hang Tuah dimana ? Tanyaku

“Kau cari sendirilah dibalik cerita-cerita legenda yang terserak diberbagai tempat diluar kota ini, disini sudah tak ada lagi bijak laksamana, tak ada lagi Tuah, yang ada hanyalah burung Beo milik Baginda

0 comments: