Motto :

Membaca sebanyak mungkin, Menulis seperlunya

Ke Bagan

Written By lungbisar.blogspot.com on Tuesday, October 22, 2019 | 2:08 PM


Duduk dibibir Tebing Sungai Rokan sambil menunggu sampan tumpangan, hasrat hati nak hilir ke Bagan, angin bertiup perlahan, dan sesekali terdengar kicau Kedidi sambil ekornya terunggit-unggit dipucuk Berembang.

Daun dan mumbang Kelapa berserak tak beraturan disekelilingku, pohonnya tumbang bersamaan dengan runtuhnnya tebing yang tergerus arus.

Sudah hampir sepenanak nasi lamanya aku duduk menunggu, matahari sudah naik sepenggalahan,  namun sampan tumpangan belum jua didapat. Banyak sampan yang melintas, tapi tak bisa membawaku serta karna sampannya penuh dengan muatan. Dan, ………… ada juga yang lewat dengan sampan besar, dikayuh oleh pemiliknya, tapi tak sudi menyinggahkan aku karena didalamnya ada pengantin baru.

Arus mulai deras, matahari sudah tak lagi bersahabat, sinarnya menyengat ubun-ubun, hingga membuat keringat mulai meleleh, aku mulai gusar, kesempatan hilir ke bagan menjadi pupus, hilang tak berbekas dikarenakan tak dapat sampan tumpangan.

“Apa hajat Ngah ?” tiba-tiba terdengar suara menyapa, aku menoleh dan ternyata Lung Bisar yang datang, lelaki tengil yang selalu bicara menyengat itu menghampiriku, dan seperti biasanya dia datang dengan bermodalkan mancis, lalu dengan senyum menghias bibirnya dia minta rokok sebatang.

“Nak ke Bagan,” jawabku singkat sambil mengeluarkan bungkus tembakau Kampa , dia tak menjawab, lalu dengan cekatan menyambar kampil tembakau ku, lalu menggulungnya dengan daun nipah, sejenak kemudian dipantiknya mancis, dan mengepullah asap dari celah bibir dan lubang hidungnya.

“Udah berapa lama menunggu ?” tanyanya sambil mengajakku mencari tempat berteduh dibawah pohon rindang  yang agak jauh dari bibir tebing.

“Dari pagi,” jawabku singkat.

“Kini memang sulit mendapat tumpangan, kalau tak punya sampan tak usahlah berharap nak hilir ke Bagan,” ujar Lung Bisar

“Hem …….. sama sebangun dengan PILPRES ya Lung,” kataku memotong ucapannya.

“Iya, kalau tak punya sampan jangan berharap banyak menjadi Calon,” sambungnya lagi sambil nyengir, sampai Nampak gigi sungilnya.

Mataharipun membubung tinggi, dan dari kejauhan terdengar bunyi beduk dalam, pertanda waktu zuhur sudahhampir masuk, kamipun melangkah pulang, sambil berdoa semoga tebing tidak lagi runtuh.

0 comments: