Duduk dibibir Tebing Sungai Rokan
sambil menunggu sampan tumpangan, hasrat hati nak hilir ke Bagan, angin bertiup
perlahan, dan sesekali terdengar kicau Kedidi sambil ekornya terunggit-unggit
dipucuk Berembang.
Daun dan mumbang Kelapa berserak tak beraturan disekelilingku, pohonnya tumbang bersamaan dengan runtuhnnya tebing yang tergerus arus.
Daun dan mumbang Kelapa berserak tak beraturan disekelilingku, pohonnya tumbang bersamaan dengan runtuhnnya tebing yang tergerus arus.
Sudah hampir sepenanak nasi lamanya aku duduk menunggu, matahari sudah naik sepenggalahan, namun sampan tumpangan belum jua didapat. Banyak sampan yang melintas, tapi tak bisa membawaku serta karna sampannya penuh dengan muatan. Dan, ………… ada juga yang lewat dengan sampan besar, dikayuh oleh pemiliknya, tapi tak sudi menyinggahkan aku karena didalamnya ada pengantin baru.
Arus mulai deras, matahari sudah
tak lagi bersahabat, sinarnya menyengat ubun-ubun, hingga membuat keringat
mulai meleleh, aku mulai gusar, kesempatan hilir ke bagan menjadi pupus, hilang
tak berbekas dikarenakan tak dapat sampan tumpangan.
“Apa hajat Ngah ?” tiba-tiba
terdengar suara menyapa, aku menoleh dan ternyata Lung Bisar yang datang,
lelaki tengil yang selalu bicara menyengat itu menghampiriku, dan seperti
biasanya dia datang dengan bermodalkan mancis, lalu dengan senyum menghias
bibirnya dia minta rokok sebatang.
“Nak ke Bagan,” jawabku singkat
sambil mengeluarkan bungkus tembakau Kampa , dia tak menjawab, lalu dengan
cekatan menyambar kampil tembakau ku, lalu menggulungnya dengan daun nipah,
sejenak kemudian dipantiknya mancis, dan mengepullah asap dari celah bibir dan lubang
hidungnya.
“Udah berapa lama menunggu ?”
tanyanya sambil mengajakku mencari tempat berteduh dibawah pohon rindang yang agak jauh dari bibir tebing.
“Dari pagi,” jawabku singkat.
“Kini memang sulit mendapat tumpangan, kalau tak punya sampan tak usahlah berharap nak hilir ke Bagan,” ujar Lung Bisar
“Hem …….. sama sebangun dengan PILPRES ya Lung,” kataku memotong ucapannya.
“Iya, kalau tak punya sampan jangan berharap banyak menjadi Calon,” sambungnya lagi sambil nyengir, sampai Nampak gigi sungilnya.
Mataharipun membubung tinggi, dan dari kejauhan terdengar bunyi beduk dalam, pertanda waktu zuhur sudahhampir masuk, kamipun melangkah pulang, sambil berdoa semoga tebing tidak lagi runtuh.
0 comments:
Post a Comment