Ketika maju sebagai
capres tahun lalu Jokowi – JK, menyampaikan programnya dengan nama Nawa Cita,
sebagai kebijakan pokok yang menjadi agenda prioritas dalam menjalankan pemerintahan, program
dimaksud bertujuan untuk mencapai Indonesia yang berdaulat secara politik,
adanya kepastian hukum, mandiri dalam ekonomi, serta berkepribadian dalam
kebudayaan.
Pada butir keempat dari 9 (sembilan) Nawa Cita itu disebutkan
“Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum
yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.”
Setelah terpilih
sebagai prsiden dan wakil presiden, menjelang seratus hari dari masa
pemerintahannya terjadilah perseteruan antara dua lembaga penegak hukum yakni
KPK dan Kapolri, perseteruan itu berbuntut panjang dan hingga hari ini masih
terasa akibatnya.
Bermula dari keinginan
Presiden untuk melakukan pergantian dipucuk pimpinan Polri, Sutarman yang masa
jabatannya sebagai Kapolri masih sepuluh bulan lagi diberhentikan oleh
presiden, sebagai penggantinya presiden mengajukan BG sebagai calon tunggal.
Presiden ternyata tidak
bertepuk sebelah tangan, usulannya disambut baik oleh wakil rakyat di Senayan,
meskipun dalam masa fit and propertest, KPK menetapkan BG sebagai tersangka namun dia tetap lolos dan
mendapat persetujuan dari anggota Dewan untuk diangkat sebagai Kapolri.
Banyak pihak yang
menyesali sikap Dewan tersebut, yang sedemikian cepatnya merespon usulan
presiden, biasanya calon pejabat negara yang bermasalah secara hukum sulit
mendapat persetujuan dari wakil rakyat, tapi kali ini malah sebaliknya berjalan
lancar dan dalam waktu yang singkat langsung mendapat persetujuan dalam sidang paripurna.
Presiden dihadapkan
pada pilihan sulit, melantik BG sebagai Kapolri akan menuai kecaman dari publik,
tidak melantik calon Kapolri yang sudah disetujui paripurna Dewan bisa dianggap
tidak menghormati keputusan DPR. Kesulitan ini timbul akibat lambannya gerak
presiden dalam menentukan sikap, seharusnya usulan ke DPR tersebut secepatnya
ditarik seketika mengumumkan status BG sebagai tersangka, sehingga tidak sampai
mendapat persetujuan Dewan.
Benang kusut yang
merentang antara KPK dan Polri berubah menjadi perseteruan, Polri kembali
mengangkat kasus lama yang melibatkan petinggi KPK. Dua pimpinan KPK dijadikan
tersangka, Bambang Widjojanto menjadi tersangka dalam kasus menganjurkan
bersaksi palsu dipengadilan dan Abraham Samad terjerat kasus membantu orang
lain memalsukan identitas diri.
Disamping itu BG
melakukan upaya hukum dengan mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan,
sebuah upaya hukum yang tidak biasanya dilakukan karena menurut KUHAP penetapan
tersangka bukanlah objek hukum yang bisa dipraperadilan. Meskipun demikian
hakim mengatakan lain, gugatan BG diterima dan penetapan tersangka oleh KPK itu
batal hukum.
Saat proses
praperadilan berlangsung, presiden memutuskan untuk menunda pelantikan BG
sebagai Kapolri, dengan alasan ingin menghormati proses hukum dipengadilan.
Ketika praperadilan sudah usai dan status BG sebagai tersangka dibatalkan oleh
pengadilan, presiden tetap saja tidak melantik BG sebagai Kapolri, tetapi
mengusulkan nama Badrudin Haiti sebagai calon Kapolri yang baru.
Perseteruan KPK dan
Polri masih menyisakan persoalan, kasus yang membelit Bambang dan Samad terus
dilanjutkan dan keduanya diberhentikan untuk sementara dari KPK , sebagai
penggantinya presiden menunjuk Taufiqurrahman Ruki, Indriyanto Seno Aji dan
Johan Budi SP.
Pergantian sementara
pimpinan KPK juga tidak menyelesaikan masalah, banyak menuai kritik dari
publik, Ruki dianggap tidak layak menjadi pimpinan KPK, netralitasnya diragukan
karena yang bersangkutan merupakan pensiunan Polri dan sewaktu menjadi ketua
KPK dulu dianggap minim gebrakan, disamping itu Indriyanto malah memiliki
konflik interest karena sebagai pengacara yang bersangkutan pernah menangani
perkara di KPK dalam kasus Bank Century.
Meskipun menuai banyak
kritik , pimpinan sementara KPK langsung terus bekerja dengan mengajukan kasasi
yang kemudian berbuah pahit karena ditolak oleh pengadilan. Akhirnya, pimpinan
KPK memutuskan untuk melimpahkan kasus
BG ke Kejaksaan Agung.
Pelimpahan kasus BG ke
Kejagung ini pulalah yang memicu timbulnya protes dari pegawai KPK yang hari
ini berunjuk rasa menuntut pertanggungjawaban Ruqi. Para pegawai KPK itu tidak
mau menyerah dengan keadaan, mereka maunya KPK mengajukan upaya hukum luar
biasa dengan mengajukan PK ke Mahkamah Agung.
Tapi Ruqi dan pimpinan
KPK yang lain tidak melakukannya dengan alasan PK atas keputusan praperadilan tidak
diatur oleh KUHAP, sementara pegawai KPK
juga tau bahwa praperadilan atas penetapan tersangka juga tidak diatur dalam
KUHAP, tetapi diterima oleh pengadilan.
Unjuk rasa yang
dilakukan oleh pegawai KPK ini dijawab oleh Ruqi dengan pernyataan siap mundur,
dan jika Ruqi benar-benar mundur tentu persoalan akan menjadi semakin rumit, akibatnya
KPK akan semakin terseok-seok dan semakin sulit melakukan tindakan pemberantasan korupsi.
Saat ini, Polri belum
memiliki Kapolri yang defenitif, DPR belum memberikan persetujuan atas usulan
presiden yang mengusulkan Badrudin Haiti sebagai Kapolri yang baru, pimpinan
KPK juga masih gonjang ganjing, digempur dari luar dan dalam badannya sendiri.
Bila kondisi seperti
dibiarkan terus menerus, tanpa ada sikap yang tegas dan langkah kongkrit untuk
mengatasinya, maka bukan tidak mungkin makna Nawa Cita yang diprogramkan dulu
akan berubah maknanya menjadi Duka Cita, setidak-tidaknya untuk lembaga penegak
hukum kita.